RSS
Write some words about you and your blog here

ANAK TERLANTAR

Pembangunan sosial di Indonesia hakekatnya merupakan upaya untuk merealisasikan cita-cita luhur kemerdekaan, yakni untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Di negara kita masih sering banyak bermunculan masalah sosial yang tak kunjung henti.

Masalah-masalah sosial tersebut antara lain anak terlantar, anak nakal, balita terlantar, anak jalanan tuna susila, gelandangan, pengemis, korban penyalagunaan narkotika, wanita dan lansia yang diperlakukan salah atau korban kekerasan, penyandang cacat, jompo terlantar, keluarga miskin, keluarga yang kondisi dan perumahan dan lingkungan tidak layak, keluarga bermasalah sosial psikologis, korban bencana alam dan sebagainya. Dari masalah-masalah sosial di tersebut yang sering dijumpai adalah banyaknya anak terlantar ataupun balita terlantar.

Dewasa ini masalah sosial yang sering dihadapi negara kita adalah masalah anak terlantar. Sesuai data Departemen Sosial, jumlah anak terlantar di Indonesia pada 2006 mencapai 2.815.393 anak. Jumlah terbanyak di Jawa Timur sebanyak 347.297 anak, Sumatera Utara 333.113 anak, Jawa Barat 246.490 anak, Jawa Tengah 190.320 anak, dan Sumatera Selatan 146.381 anak. Jumlah anak terlantar di DKI Jakarta sebanyak 14.804 anak
(www.tempointeraktif.com).

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa negara kita masih harus berbenah diri dalam mengatasi masalah anak terlantar. Seperti disebutkan dalam pasal 34 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara“. Pasal ini pada dasarnya merupakan hak konstitusional warga miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia sebagai subyek hak asasi yang seharusnya dijamin pemenuhannya oleh Negara. Pelanggaran HAM ini juga dipastikan melanggar hak asasi anak karena anak-anak secara sosiologis membutuhkan perlindungan keluarga sebagai lingkungan alamiah di mana anak bertumbuh kembang. Ketergantungan anak terhadap keluarga ditegaskan dalam Pembukaan Konvensi Hak Anak (KHA) bahwa meyakini keluarga sebagai kelompok dasar masyarakat dan lingkungan alamiah bagi pertumbuhan dan kesejahteraan semua anggotanya dan terutama anak-anak harus diberikan perlindungan dan bantuan yang diperlukan.

Pada dasarnya, anak merupakan kelompok usia yang memerlukan perawatan dan perlindungan karena anak merupakan suatu kelompok usia yang belum dapat hidup mandiri. Anak sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai insan yang belum dapat berdiri sendiri maka perlu diadakan usaha kesejahteraan anak, terutama bagi anak terlantar agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik rohani, jasmani maupun sosial. Usaha untuk mewujudkan kesejahteraan anak pertama-tama dan terutama menjadi tanggung jawab orang tua. Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Namun demikian, mengingat tingkat penghidupan bangsa Indonesia yang beraneka ragam tingkatnya, maka tidak setiap anak dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Sadar akan keadaan tersebut, maka perlu adanya suatu lembaga untuk mengadakan usaha-usaha guna mewujudkan kesejahteraan anak, terutama ditujukan kepada anak yang mempunyai masalah antara lain anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan dan anak cacat. Dengan pembatasan sasaran tersebut, tidak berarti bahwa anak yang tidak termasuk salah satu golongan di atas tidak berhak mendapatkan usaha kesejahteraan anak.. Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Usaha kesejahteraan anak ini menyangkut usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan dan rehabilitasi yang dilaksanakan dalam bentuk asuhan, bantuan dan pelayanan sosial. Dalam Usaha mewujudkan kesejahteraan anak terlantar di sini lembaga sosial (lembaga kemasyarakatan) sangat berperan penting. Menurut Leopold von Wiese dan Howard becker lembaga masyarakat dapat diartikan sebagai suatu jaringan proses-proses hubungan antarmanusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan-kepentingan manusia dan kelompoknya (Soerjono Soekanto, 1990 : 219).

Anak adalah aset generasi mendatang yang sangat berharga. Bisa dikatakan bahwa baik buruknya hari depan sebuah bangsa ditentukan oleh tangan-tangan pengembannya. Dalam hal ini ditangan anaklah tergenggam masa depan umat. Wajar bila setiap manusia dewasa yang menyadari masalah ini mempersiapkan strategi pendidikan yang baik untuk anak-anak. Tidak
hanya itu, proses tumbuh kembang pun sangat diperhatikan dalam rangka mengarahkan dan membimbing mereka menuju tujuan yang diinginkan. Maka perhatian terhadap hak-hak anak menjadi suatu keharusan untuk mewujudkan cita-cita ini, yaitu membentuk generasi masa depan yang berkualitas.

Teori Fungsionalis dan Marxis: lingkunganlah yang membuat wanita lemah

Teori-teori Freduian secara tidak langsung mengatakan bahwa pembagian kerja secara seksual merupakan akibat wajar dari”kodrat wanita” itu sendiri, yang membuat wanita kurang akttif dibandingkan laki-laki, kurang memiliki keinginan untuk berkuasa karena keinginannya yang paling utama adalah menjadi ibu.

Teori fungsionalis berpendapat bahwa pembagian kerja secara seksual merupakan kebutuhan masyarakat dan diciptakan untuk keuntungan seluruh masyarakat itu sebagai keseluruhan.Teori ini berpendapat bahwa wanita harus tinggal didalam lingkungan rumah tangga karena ini merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi keuntungan masyarakat secara keseluruhan. Karena itulah Murdock mengatakan bahwa
“keluarga inti merupakan pengelompokan manusia yang paling universal, terdapat di segala tempat dan segala jaman”
Meskipun bentuknya sedikit berbeda-beda. Keluarga inti juga diperkuat oleh faktor-faktor lain seperti:
“kerja sama ekonomi yang didasarkan pada pembagian kerja secara seksual.Seperti juga halnya dengan hubungan seksual, kerja sama ekonomi lebih baik bila dilakukan oleh orang-orang yang tinggal bersama, karena dengan begitu mereka jadi saling melengkapi. Kepuasan yang satu akan memuaskan yang
lainnya, dan karena itu akan saling memperkuat”. (Murdock, 1964:41).

Talcot Parson tokoh dari aliran fungsionalis di amerika serikatmengatakn bahwa wanita harus bekerja didalam rumah tangga, maka ditiadakan kemungkinan terjadinya persaingan antara suami dan istri. Pembagian kerja secara seksual memperjelas fungsi suami dan isteri dalam keluarga inti, dan ini memberikan rasa tenang bagi keduanya.Kritik terhadap teori dilancarkan oleh kaum marxis.

Teori fungsionalis
menganggap bahwa keserasian (harmoni) dalam masyarakat adalah sesuatu yang terberi secara wajar.keserasian itu juga perlu dan berguna bagi keseluruhan masyarakat itu sendiri. Menurut kaum marxis, keserasian dalam masyarakat bukan merupakan sesuatu yang terberi, tapi buatan manusia. Dan pembagian kerja secara seksual bias bertahan lama bukan karena itu merupakan sesuatu yang wajar dan alamiah, tapi karena laki-laki masih berkuasa. Engels dalam bukunya ,the origin of the family , private property and the state secara tidak langsung berbicara tentang asal mula pembagian kerja secara seksual ini. Dia berbicara tentang hubungan bentuk masyarakat dan bentuk keluarga.

Engels menolak toeri kaum fungsionalis yang mengatakan bahwa keluarga inti merupakan bentuk keluarga yang universal, ada di segala tempat dan segala waktu. Menurut engels, tergantung pada bentuk masyarakatnya, bentuk keluarga juga berubah-ubah dan perkawinan kelompok terdapat pada masyarakat yang masih liar(savagery). Engels berpaling pada teori muncul akibat munculnya system pemilikan kekayaan pribadi berupa harrta benda. Harta benda tak diwariskan karena tak ada harta benda yang bias dikumpulkan. Milik pribadi seperti alat-alat berburu dan pakaian sering kali dihancurkan kalau pemiliknya meninggal dunia(freud, 1975:15).
PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM


ABSTRACT
Pada hakekatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Meskipun demikian, berbagai macam dan bentuk perjudian dewasa ini sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Mengingat masalah perjudian sudah menjadi penyakit akut masyarakat, maka perlu upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, tidak hanya dari pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi juga dari kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama dan bahu membahu menanggulangi dan memberantas semua bentuk perjudian.

A. Pendahuluan
Dewasa ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Bahkan sebagian masyarakat sudah cenderung permissif dan seolah-olah memandang perjudian sebagai sesuatu hal wajar, sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan. Sehingga yang terjadi di berbagai tempat sekarang ini banyak dibuka agen-agen judi togel dan judi-judi lainnya yang sebenarnya telah menyedot dana masyarakat dalam jumlah yang cukup besar. Sementara itu di sisi lain, memang ada kesan aparat penegak hukum kurang begitu serius dalam menangani masalah perjudian ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan, beberapa tempat perjudian disinyalir mempunyai becking dari oknum aparat keamanan.
Pada hakekatnya, perjudian adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda.
Perjudian merupakan salah satu penyakit masyarakat yang menunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi kegenerasi ternyata tidak mudah diberantas. Oleh karena itu perlu diupayakan agar masyarakat menjauhi melakukan perjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya dan terhindarnya ekses-ekses negatif yang lebih parah untuk akhirnya dapat berhenti melakukan perjudian.

B. Perjudian dalam Perspektif Hukum
Dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.
Mengenai batasan perjudian sendiri diatur dalam Pasal 303 ayat (3) KUHP sebagai berikut : “Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya”.
Ancaman pidana perjudian sebenarnya sudah cukup berat, yaitu dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 303 KUHP jo. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1974 menyebutkan :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barangsiapa tanpa mendapat ijin :
1. Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu.
2. Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara.
3. Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencaharian.
(2) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencahariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian itu.
Meskipun masalah perjudian sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi baik dalam KUHP maupun UU No. 7 tahun 1974 ternyata masih mengandung beberapa kelemahan. Adapun beberapa kelemahannya adalah :
1. Perundang-undangan hanya mengatur perjudian yang dijadikan mata pencaharian, sehingga kalau seseorang melakukan perjudian yang bukan sebagai mata pencaharian maka dapat dijadikan celah hukum yang memungkinkan perjudian tidak dikenakan hukuman pidana
2. Perundang-undangan hanya mengatur tentang batas maksimal hukuman, tetapi tidak mengatur tentang batas minimal hukuman, sehingga dalam praktek peradilan, majelis hakim seringkali dalam putusannya sangat ringan hanya beberapa bulan saja atau malah dibebaskan
3. Pasal 303 bis ayat (1) angka 2, hanya dikenakan terhadap perjudian yang bersifat ilegal, sedangkan perjudian yang legal atau ada izin penguasa sebagai pengecualian sehingga tidak dapat dikenakan pidana terhadap pelakunya. Dalam praktek izin penguasa ini sangat mungkin disalahgunakan, seperti adanya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dengan pejabat yang berwenang.

C. Penutup
Mengingat masalah perjudian sudah menjadi penyakit akut masyarakat, maka perlu upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, tidak hanya dari pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi juga dari kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama dan bahu membahu menanggulangi dan memberantas semua bentuk perjudian.

PERKOSAAN

adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang telah melanggar menurut moral dan hukum. Dalam pengertian lain, pemerkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan. Sedangkan dalam dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: ”barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Pemerkosaaan tidak hanya menghilangkan keperawanan seorang perempuan, namun telah memberi dampak besar bagi korban antaranya; (1) pengucilan dalam keluarga, (2) pengucilan dalam masyarakat, (3) hilangnya rasa percaya diri korban dikarenakan kesucian sebagai salah satu indentitas diri perempuan telah hilang, dan(4) hilangnya hak dalam mengeyam pendidikan. Dampak phisklogis bagi korban sangat besar, korban depresi dan juga bisa berakhir bunuh diri akibat beban mental yang dialami.
Pengertian pasal 285 KUHP, dimana perkosaan didefinisikan ”bila dilakukan hanya di luar perkawinan”. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan (Soerodibroto, 1994). Bila tidak ada aral melintang, tim perumus RUU KUHP melakukan perubahan mendasar dengan memperluas cakupan tindak pidana perkosaan. Bahkan diperinci tindak pidana apa saja yang masuk kategori pemerkosaan, sebut misalnya, oral seks dan sodomi sudah masuk kategori pemerkosaan. dalam RUU KUHP tersebut terdapat delapan jenis tidak pidana pemerkosaan, antaranya; (1) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut; (2) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut; (3) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai; (4) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah; (5), Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 tahun, dengan persetujuannya; (6), Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan padahal diketahuinya bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; (7) Dalam keadaan seperti tercantum di atas, lalu laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; dan (8) Laki-laki memasukkan suatu benda yang buksan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan. (Sumber: Pasal 423 ayat (1) dan (2) RUU KUHP).

Pelecehan seksual (sexual and emotional harassment)
Pecehan seksual yang bisa dikategorikan ke dalam beberapa bentuk, yakni: menyampaikan lelucon jorok dan vulgar, menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, menginterogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya; meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau promosi lainnya. Dilihat dari situsnya, kekerasan dapat dibedakan menjadi kekerasan domestik dan kekerasan publik. Kekerasan domestik terdiri dari tiga jenis, yaitu : intimate violence, private violence dan family violence. Kekerasan publik meliputi segala bentuk pelecehan seksual dan serangan seksual yang dilakukan di tempat-tempat publik. Dalam masyarakat modern, bentuk-bentuk kekerasannya lebih kompleks, tidak saja bersifat fisik tetapi juga psikologis. Tidak juga hanya bersifat seksual personal, tetapi juga struktural, misalnya pelecehan seksual, pelacuran dan pornografi.

Sedangkan dalam KUHP, pelecehan seksual mencakup; pornografi, perbuatan cabul, perkosaan, pelacuran, perdagangan perempuan, aborsi, maupun penggunaan anak di bawah umur untuk pekerjaan berbahaya. Bila dikaitkan dengan permasalahan gender, pelanggaran kesusilaan erat kaitannya dengan tindak kekerasan fisik maupun integritas mental seseorang dan cenderung merupakan kekerasan publik. Kekerasan baik dalam bentuk pelecehan seksual maupun pemerkosaan selama ini terus meningkat Ini menunjukkan bahwa hukum masih sangat lemah dalam memberi perlindungan dan juga memberi sanksi bagi pelaku kejahatan tersebut. Pada tataran lain, kelemahan dalam proses penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian menyangkut laporan korban, dimana korban tidak langsung melapor atau kurangnya bukti terhadap kasus. Akibat lemahnya bukti atau keterlambatan laporan ke pihak kepolisian, menyebabkan korban pelecehan seksual pun kehilangan hak untuk menuntut balas pada pelaku. Pada sisi lain, banyak sekali kasus pelecehan seksual yang tidak pernah sampai ke pengadilan juga disebabkan oleh keengganan korban karena terlalu malu, karna apa yang dialami adalah sebagai aib, kedekatan korban dengan pelaku (teman, partner kerja, saudara atau pacar), atau malah korban tidak menyadari dirinya dilecehkan.

Atas dasar beberapa masalah di atas membuatnya korban kehilangan hak untuk memenjarakan pelaku. Sebenarnya, legalisasi hukum Indonesia sudah jelas, pelecehan seksual secara umum diatur dalam KUHP pasal 281 - 282. Bahkan, pasal 285 KUHP menyebutkan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun." Dengan trauma psikis yang dialaminya, korban biasanya enggan melapor pada polisi. Terlebih lagi, bila korban mengenal dekat sang pelaku. korban untuk melapor membuatnya kehilangan hak untuk memenjarakan pelaku. Walaupun munculnya keberanian korban untuk melapor, pada kasus pelecehan seksual biasanya berhenti saksi, visum atau bukti sah terlah terjadinya sebuah tindakan pelecehan seksual. Berdasarkan pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e).Keterangan Terdakwa. Saksinya pun harus saksi yang berkualitas menurut pasal 185 ayat 2 KUHP. Walaupun pelapor harus menunjukkan bukti yang sah sesuai dengan pasal 184 KUHP, aparat kepolisian tidak bisa menolak pelaporan atau pun pengaduan korban (UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 15 ayat 1 point a dan i).

Maka pelecehan seksual tidak hanya dilihat dalam bentuk langsung, namun pelecehan seksual dapat terjadi dalam bentuk isyarat tubuh si pelaku dianggap telah melanggar kesopanan dan yang terpenting sebagai seorang perempuan tidak mengendaki perlakuan si pelaku tersebut. Apabila pelecehan terjadi, perbuatan tersebut dapat diancam dengan ancaman hukuman seperti yang terdapat dalam KUHP antaranya; (1). Pencabulan, diancam dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 289, 296; (2). Penghubungan Pencabulan KUHP pasal 295, 298, 506; dan (3). Kejahatan terhadap Kesopanan KUHP Pasal 281 - 299, 532, 533.

Sulitnya Pembuktian pelecehan seksual
Dalam kasus pemerkosaan, korban melakukan pemeriksaan medis atau disebut visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang (kepolisian), yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.

Maka dalam kasus pelecehan seksual, pembuktian adalah bagian terberat, terutama apabila tidak ada saksi sewaktu pelecehan tersebut dilakukan. Untuk membuktikan telah terjadi pelecehan seksual, korban harus bisa menghadirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dalam proses perkara tersebut. Umumnya perlakuan melecehkan seseorang dilakukan dalam lingkungan tertutup dan terbatas, atau kalaupun terbuka hanya sedikit orang yang mau dijadikan saksi atas kejadian tersebut, sehingga masalah pelecehan seksual seringkali mengakibatkan kerugian bagi perempuan dari pada si pelaku, bahkan tidak jarang karena tekanan tertentu. Syarat-syarat tertentu, agar si pelaku dapat diadili sesuai dengan ketentuan hukum yaitu KUHAP Pasal 1: (1). Adanya saksi, sekurang-kurangnya 2 (dua) orang; (2). Keterangan Ahli/Saksi Ahli; (3). Surat/Dakwaan; 4. Petunjuk; (5). Dan Keterangan Terdakwa. Karena dalam KUHP adalah “asas satu saksi bukan saksi”. Dalam Pasal 108, Ayat 1, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatakan: Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyelidik dan atau Penyidik baik lisan maupun tertulis.

Isi pasal ini mengandung arti bahwa, bila seseorang mengalami, menyaksikan dan atau menjadi korban suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, maka mengadukan atau melaporkan hal tersebut merupakan hak, bukan kewajiban, dengan demikian tindakan hukum terhadap pelaku pelecehan kalau tidak dilaporkan, maka Polisi atau Penyidik tidak dapat memprosesnya menjadi suatu perkara pidana, kecuali perbuatan tersebut diketahui atau ketangkap tangan oleh petugas yang berhak, maka menjadi kewenangan petugas untuk memproses perkara itu (Pasal 111, Ayat 1, KUHAP). Peristiwa pelecehan seksual tanpa laporan dan ketangkap tangan, maka kewenangan hanya ada dilingkungan peristiwa tersebut terjadi []