RSS
Write some words about you and your blog here

Feminisme dan Pelecehan Seksual dalam Birokrasi Kekuasaan Pemerintahan

Feminisme sebagai suatu gerakan telah dipicu oleh perjuangan anti kekerasan yang berkembang
bersamaan dengan gerakan anti otoritarianisme dan anti akselerasi persenjat aan di barat sebagai akibat perang dingin. Gerakan ini kemudian dipadukan dengan aktivitas akademik yang
mengkritisi konsep-konsep dalam ilmu sosial konvensional -positivistik. Ketika muncul kesadaran akan adanya hubungan-hubungan asimetris berdasarkan jeni s kelamin, maka pemahaman studi perempuan dapat dilihat sebagai bidang kajian yang berfokus pada perempuan, dan historis.

Karenanya studi tentang perempuan dapat didefinisikan pertama, studi untuk memperoleh
pemahaman tentang perkembangan hubungan -hubungan asimetris berdasarkan jenis kelamin, ras, dan kelas dalam masyarakat. Kedua, studi untuk mencari strategi yang dapat merubah situasi hubungan asimetris kepada hubungan - hubungan yang lebih simetris.

Untuk mencapai target perubahan menuju yang lebih simet ris, studi perempuan membutuhkan
langkah sistematik dan konkrit dalam suatu gerakan ( movement). Ratna Saptari (1992: 7) mengemukakan tiga pendekatan dalam gerakan dan studi perempuan, yaitu pertama, feminisme
radikal sebagai aliran yang berpendapat bawah s truktur masyarakat dilandaskan pada hubungan hierarkis berdasarkan jenis kelamin, mengasumsikan bahwa laki -laki sebagai suatu kategori sosial mendominasi perempuan sebagai kategori sosial lain. Kondisi ini melahirkan suatu model konseptual yang menjelaskan berbagai bentuk penindasan. Dengan kata lain, jenis kelamin menjadi faktor yang menentukan: posisi sosial, pengalaman, kondisi fisik, psikologi, kepentingan, dan nilai-nilai seseorang, sehingga muncul slogan the personal is political, dengan fokus pada konsep utama Patriarki dan Seksualitas.

Kedua, feminisme liberal yang berpandangan bahwa laki -laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam mengembangkan kemampuannya. Siapapun hanya bisa intervensi dalam rangka menjamin terlaksananya hak yang azasinya. Ketiga , feminisme sosialis yang mengkaitkan dominasi laki-laki terhadap perempuan dengan proses kapitalisme. Berbagai bentuk patriarki dan pembagian kerja secara seksual tidak dapat lepas dari mode produksi dalam masyarakat (Denhardt & Denhardt, 2003).

Sebagaimana tercermin dari periode -periode awal revolusi industri dan kapitalisme yang membutuhkan tenaga kerja murah (baca: perempuan) bagi pekerjaan bertekonologi rendah. Metamorfosis kondisi ini terlestarikan hingga kini, dalam bentuk kebutuhan tenaga k erja laki-laki murah karena rendahnya lapangan kerja dan posisi tawar buruh, sehingga memunculkan tenaga kerja tidak dibayar dalam rumah tangga (baca: perempuan)

Pelecehan Seksual
Ada beberapa pasal dalam Kitab Undang -Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapa t menjerat seseorang pelaku pelecehan seksual; misalnya, pencabulan terdapat pada pasal 289 -296,
penghubungan pencabulan terdapat pada pasal 295 -8, dan pasal 506, serta persetubuhan dengan wanita di bawah umur terdapat pada pasal 286 -8 (Anonim, 2006). Dalam perkem-bangan gerakan dan studi feminisme, pe-lecehan seksual mengalami perluasan definisi menjadi pertidaksetujuan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sikap, kata -kata, dan tindakan pihak lain yang berlatar belakang seksual. Ketidak setujua n (without consent) menjadi ukuran ada tidaknya suatu pelecehan. Perkem-bangan studi dan gerakan feminisme menjadi tiga aliran kemudian ikut sert mewarnai peluasan kriteria pelecehan seksual itu sendiri.

Proses-proses yang melatarbelakangi maupun fenomena yang menjelaskan ke tiga pandangan tersebut diatas memperkuat asumsi dominasi jenis kelamin, intervensi pada kesamaan hak, maupun proses-proses kapitalisme telah mempunyai kontribusi pada mindset dan praktek pelecehan seksual. Pelecehan sebagai bentuk penghinaan yang merendahkan martabat setiap manusia, apa pun bentuknya, telah berkembang sedemikian jauh dan memiliki banyak varian. Oleh karenanya segala bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh oran g yang menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif; misalnya, rasa malu, marah, tersinggung dapat dikatakan merupakan suatu bentuk pelecehan seksual. Biasanya hal tersebut terjadi ketika seorang pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari pada k orban; misalnya, kekuasaan itu dapat berupa posisi pekerjaan yang lebih tinggi, kekuasaan ekonomi, “kekuasaan” jenis kelamin yang satu terhadap jenis kelamin yang lain, jumlah personal yang lebih banyak. Seringkali perempuan menjadi mahluk yang rentan dile cehkan secara fisik maupun mental.

Pelecehan Seksual dan Kekuasaan
Relasi jender dan seksual yang melahirkan pelecehan tidak terlepas dari hubungan kekuasaan di
antara pihak-pihak yang berelasi (Anonim, 200). Kecenderungan kekuasaan untuk menormalisasi relasi, dengan menganggap fenomena tertentu sebagai hal yang lumrah dan wajar telah mengakibatkan “diterimanya” sebuah relasi asimetri oleh pihak yang dikuasai menjadi sebuah kewajaran. Kewajaran semu ini terjadi di semua lini dan sektor, seperti ekonomi, ilmu
pengetahuan, dan seksual. Foucault mengatakan bahwa kekuasaan bukan suatu institusi, bukan struktur, dan bukan pula kekuatan yang dimiliki, tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat (Haryatmoko, 2002). Di dalamnya terjadi proses institusionalisasi kekuasaan yang melembaga dalam keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan -aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Kekuasaan tidak lagi dalam wajah klasiknya sebagai sebuah kekerasan, represi, atau manipulasi ideologi.

Dalam setting ini maka pelecehan seksual seringkali tidak selalu dan tidak hanya yang kasatmata. Dibutuhkan kepekaan, kecerdasan, dan kearifan untuk memberi penyadaran dan pengikisan hubungan kekuasaan asimetri secara seksual, yang dalam banyak hal bermuara pada
kasus-kasus pelecehan seksual. Kathleen Staudt dan Jane Jacquette dalam Women’s Programs Bureacratic Resistance, and Feminist Organisation (Parsons, 2005: 263-4), mengatakan:
“...meskipun ada kemajuan dalam undang-undang dan kebijakan progresif di tingkat nasional dan internasional, tampak jelas ada pembelokan dalam redistribusi sumberdaya dan nilai diantara pria dan wanita. Salah satu dari alasannya menurut mereka adalah resistensi biro krasi untuk mendistribusi dan karena isu itu sendiri yang bermuatan konflik:kemenangan nyata seringkali dihambat oleh keengganan, penghindaran, dan distorsi dari pihak birokrasi... program untuk memperkuat integrasi ekonomi perempuan dan meredistribusi pel uang dan sumberdaya berdasarkan jender tampak menjadi ancaman bagi pengambil keputusan birokratik yang dikuasai pria, ancaman yang dapat dengan mudah diidentifikasi dan dilawan dengan banyak cara.” roni yang tercermin dalam pendapat diatas menegaskan b ahwa di dalam birokrasi terdapat resistensi dari laki-laki terhadap pengembangan karir perempuan dan di banyak aspek
keperempuanan. Praktek-praktek yang berhulu pada resistensi telah dilestarikan secara terus
menerus di dalam dan oleh elit di segala lini birokrasi, sehingga dalam batasan yang agak longgar
dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual, sebagaimana perluasan definisi pelecehan yang
disepakati saat ini.

GENDER MAINSTREAMING IN IPM A participatory approach in institutionalizing and integrating gender equality in IPM networks and project policies in Ind

Indonesian farmers, especially women, in the last four decades, have been discriminated by the Indonesian government policies on agricultural development. Since the Green Revolution era, as well as the post green revolution era of Free Trade agriculture liberalization policies, they have been subordinated, marginalized, and displaced from the paddy field by those policies. Although The UN convention on Elimination all forms of discriminations against women has been ratified by the Indonesian government in the 80s and many other UN conventions on women related issues have been adopted, unfortunately they are not automatically prevent the discrimination against women to take place. The recent emergence of the awareness of women equal rights as one of the impact of The Beijing Women Conference 1995, however, does not stop the violation
against women rights.

But recently, we are witnessing a phenomenon of emerging of new consciousness to eliminate all forms of discriminations by the farmers themselves in the IPM community networks. The idea of elimination of all forms of discrimination against women in the farmer’s community actually has nothing to do with those UN women conventions. The idea of protecting women among the farmers community, actually has been part of old tradition and belief of the farmers, that women dignity traditionally must be protected. However the new awareness of eliminating all forms of discriminations against women was part of a farmers’ movement of institutionalising gender in the IPM network, which has a mission that women farmers should be prevented from all forms of social, political, economic as well as cultural dehumanisation. In this paper, I try to explore and describe the experience and experiment of IPM farmers’ networks on how they conducted “Gender mainstreaming” or how they have established institutionalisation of gender equality, and strategize and sustained by farmers themselves. This paper basically is developed base on the experiment of farmers in doing participatory gender mainstreaming in the Indonesian IPM farmers networks.

Gender in the Farmers community
All forms of gender based discriminations that take place in the farmers community, actually is a phenomenon that is not easily recognized by farmers themselves. Gender base discrimination is a form of discrimination that structurally and culturally operates in agriculture development programs as well as in the community, which are not easily to be recognized because they have been accepted by farmers men and women and therefore is believed as natural. However, gender discrimination that takes place in the farmers community, took place due to unequal gender relation between male farmers and female farmers basically is socially constructed. In other words, Gender based discrimination is very difficult to understand, because it has already socialized for long time. Gender relations among farmers basically are socially determined relations that differentiate male and female farmers situations. Although Farmers (male and female) are born biologically female or male, but have acquired gender identity. Gender relation between male and female and gender dimension of the social relations are structuring and influencing the relation between male and female in agriculture, such as gender division of labour and division of access to and control over agriculture sources including agriculture
development programs between male and female.

Unintentionally, many development programs have been impacted to male farmers then to female farmers. Therefore, many agriculture programs have been in favour of male farmers as a gender, and against women farmers as a gender in the farmer’s community including within the IPM farmers network. For example during the Green Revolution programs in Indonesia, millions of women were displaced from the paddy field and agriculture systematically by the program that leads to marginalization of millions of women farmers. Learning from the past agriculture development policies as well as the IPM programs, especially on how the IPM program have contributed to the marginalization and displacement of women farmers from agriculture and other negative impact to women, IPM program staff have expressed their concern that the progr mneeds a special program of integrating gender into IPM. Based on the concern, the IPM
Indonesia program management initiated a special program of integrating gender in the IPM.

This program actually is not a new program in the IPM. From the very beginning of FFS, the IPM program actually have tried to integrate gender perspective by conducted several workshops on gender, especially for the national program staffs and experts. The result and the follow up implementation of those workshops, however, could not be implemented in to the IPM network. Unfortunately, after several approaches introduced in the program to integrate gender in the IPM have not resulted effective change. The mid term evaluation conducted by the evaluator reveals that IPM needs professional help to integrate gender in the IPM.

Based on the suggestion, finally IPM took an initiative to develop an alternative model of integrating gender in the IPM program, namely by adopting a participatory model of gender mainstreaming. This is an approach that place farmers, women and men at the center of the process of integrating gender into the program. It is a model where farmers themselves become the main actors in the process of transforming the IPM into a gender equal organization. It is a process of transforming IPM community becomes a just and fair society. This approach is taken to respond the marginalization of women in agricultural policy that has taken places for years. Even in development terminology, ‘farmer’ means man. Those who are involved in and invited to any training activities have been men. This is true that in the IPM program for 15 years, the majority of the participants and facilitators were men.

The main aim of gender mainstreaming in the IPM
The aim of gender mainstreaming in the IPM networks and policy, basically is a process to ensure that women and men benefit equally and that inequality and all forms discrimination such as marginalization, subordination, burden and violence against women farmers are not perpetuated and stopped within the IPM networks in Indonesia. These aims are achieved by establishing Gender strategy activities in the IPM farmers’ networks. The objectives of the activities include:
1. Conducting a recruitment of the core team facilitators for Institutionalisation of
gender in the IPM network;
2. Creating Special Gender Training for farmers, covering several topics, i.e.
Establishing a Gender training curriculum for farmers; gender injustice in rural
areas, social and political factors that influencing the situation, development tools
to assess gender problems in rural areas, and follow up plan of action;
3. Establishing participatory Gender Assessment Tools concerning gender problems
in rural areas carried out by IPM farmers. The participatory Assessment Tools
that were conducted through participatory Research and FGD, and simultaneous
problem solving;
4. Doing Gender Workshops to establish a training curriculum including gender
issues; raising gender critical consciousness in rural areas, especially within the
IPM farmers network.
5. Workshop evaluation, i.e. a discussion activity to identify weaknesses and
strengths of action results in the rural areas. At the end of the workshop, some
further discussions regarding the development of gender strategy in IPPHTI
organization in the future were held in the field.

The Second Sex

FOR a long time I have hesitated to write a book on woman. The subject is irritating, especially to women; and it is not new. Enough ink has been spilled in quarrelling over feminism, and perhaps we should say no more about it. It is still talked about, however, for the voluminous nonsense uttered during the last century seems to have done little to illuminate the problem. After all, is there a problem? And if so, what is it? Are there women, really? Most assuredly the theory of the eternal feminine still has its adherents who will whisper in your ear: ‘Even in Russia women still are women’; and other erudite persons – sometimes the very same – say with a sigh: ‘Woman is losing her way, woman is lost.’ One wonders if women still exist, if they will always exist, whether or not it is desirable that they should, what place they occupy in this world, what their place should be. ‘What has become of women?’ was asked recently in an ephemeral magazine.

But first we must ask: what is a woman? ‘Tota mulier in utero’, says one, ‘woman is a womb’. But in speaking of certain women, connoisseurs declare that they are not women, although they are equipped with a uterus like the rest. All agree in recognising the fact that females exist in the human species; today as always they make up about one half of humanity. And yet we are told that femininity is in danger; we are exhorted to be women, remain women, become women. It would appear, then, that every female human being is not necessarily a woman; to be so considered she must share in that mysterious and threatened reality known as femininity. Is this attribute something secreted by the ovaries? Or is it a Platonic essence, a product of the philosophic imagination? Is a rustling petticoat enough to bring it down to earth? Although some women try zealously to incarnate this essence, it is hardly patentable. It is frequently described in vague and dazzling terms that seem to have been borrowed from the vocabulary of the seers, and indeed in the times of St Thomas it was considered an essence as certainly defined as the somniferous virtue of the poppy But conceptualism has lost ground.

The biological and social sciences no longer admit the existence of unchangeably fixed entities that determine given characteristics, such as those ascribed to woman, the Jew, or the Negro. Science regards any characteristic as a reaction dependent in part upon a situation. If today femininity no longer exists, then it never existed. But does the word woman, then, have no specific content? This is stoutly affirmed by those who hold to the philosophy of the enlightenment, of rationalism, of nominalism; women, to them, are merely the human beings arbitrarily designated by the word woman. Many American women particularly are prepared to think that there is no longer any place for woman as such; if a backward individual still takes herself for a woman, her friends advise her to be psychoanalysed and thus get rid of this obsession. In regard to a work, Modern Woman: The Lost Sex, which in other respects has its irritating features, Dorothy Parker has written: ‘I cannot be just to books which treat of woman as woman ... My idea is that all of us, men as well as women, should be regarded as human beings.’ But nominalism is a rather inadequate doctrine, and the antifeminists have had no trouble in showing that women simply are not men. Surely woman is, like man, a human being; but such a declaration is abstract. The fact is that every concrete human being is always a singular, separate individual. To decline to accept such notions as the eternal feminine, the black soul, the Jewish character, is not to deny that Jews, Negroes, women exist today – this denial does not represent a liberation for those concerned, but rather a flight from reality. Some years ago a well-known woman writer refused to permit her portrait to appear in a series of photographs especially devoted to women writers; she wished to be counted among the men. But in order to gain this privilege she made use of her husband’s influence! Women who assert that they are men lay claim none the less to masculine consideration and respect. I recall also a young Trotskyite standing on a platform at a boisterous meeting and getting ready to use her fists, in spite of her evident fragility. She was denying her feminine weakness; but it was for love of a militant male whose equal she wished to be. The attitude of defiance of many American women proves that they are haunted by a sense of their femininity. In truth, to go for a walk with one’s eyes open is enough to demonstrate that humanity is divided into two classes of individuals whose clothes, faces, bodies, smiles, gaits, interests, and occupations are manifestly different. Perhaps these differences are superficial, perhaps they are destined to disappear. What is certain is that they do most obviously exist.

If her functioning as a female is not enough to define woman, if we decline also to explain her through ‘the eternal feminine’, and if nevertheless we admit, provisionally, that women do exist, then we must face the question “what is a woman”?.

To state the question is, to me, to suggest, at once, a preliminary answer. The fact that I ask it is in itself significant. A man would never set out to write a book on the peculiar situation of the human male. But if I wish to define myself, I must first of all say: ‘I am a woman’; on this truth must be based all further discussion. A man never begins by presenting himself as an individual of a certain sex; it goes without saying that he is a man. The terms masculine and feminine are used symmetrically only as a matter of form, as on legal papers. In actuality the relation of the two sexes is not quite like that of two electrical poles, for man represents both the positive and the neutral, as is indicated by the common use of man to designate human beings in general; whereas woman represents only the negative, defined by limiting criteria, without reciprocity. In the midst of an abstract discussion it is vexing to hear a man say: ‘You think thus and so because you are a woman’; but I know that my only defence is to reply: ‘I think thus and so because it is true,’ thereby removing my subjective self from the argument. It would be out of the question to reply: ‘And you think the contrary because you are a man’, for it is understood that the fact of being a man is no peculiarity. A man is in the right in being a man; it is the woman who is in the wrong. It amounts to this: just as for the ancients there was an absolute vertical with reference to which the oblique was defined, so there is an absolute human type, the masculine. Woman has ovaries, a uterus: these peculiarities imprison her in her subjectivity, circumscribe her within the limits of her own nature. It is often said that she thinks with her glands. Man superbly ignores the fact that his anatomy also includes glands, such as the testicles, and that they secrete hormones. He thinks of his body as a direct and normal connection with the world, which he believes he apprehends objectively, whereas he regards the body of woman as a hindrance, a prison, weighed down by everything peculiar to it. ‘The female is a female by virtue of a certain lack of qualities,’ said Aristotle; ‘we should regard the female nature as afflicted with a natural defectiveness.’ And St Thomas for his part pronounced woman to be an ‘imperfect man’, an ‘incidental’ being. This is symbolised in Genesis where Eve is depicted as made from what Bossuet called ‘a supernumerary bone’ of Adam.

TUBUH PEREMPUAN DALAM IKLAN

Berbicara tentang wanita tidak terlepas dari penampilan fisiknya. Segala +bentuk interpretasi dari tubuh wanita merupakan perbincangan yang tak pernah bertepi. Berbagai tema kerap muncul di setiap perdebatan. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sebuah representasi lebih mudah diterima dalam masyarakat apabila telah ada sistem pemaknaannya. Pemaknaan mengenai citra kecantikan wanita, di dalam struktur sosial masyarakat berkembang melalui tataran nilai-nilai budaya yang telah dianut lama, seperti tradisi, adat, norma, nilai-nilai feodal dan sebagainya. Misalnya, dalam budaya jawa wanita dan kecantikan diibaratkan sebagai sekeping mata uang logam dengan dua sisi yang saling berdekatan. Ungkapan dan perlambangan mengenai kecantikan wanita, selalu mengacu pada hal yang bersifat feminitas dan keibuan. Wanita simbol pembawa keindahan yang mengandung makna kehalusan, keanggunan, kelembutan, dan lainnya. Kecantikan, sebagaimana keindahan, menjadi harmoni yang bermakna keseimbangan antara lahir dan batin.

Namun demikian, makna kecantikan sangat relatif serta beragam yang selalu mengalami gerak pergeseran bersamaan dengan perkembangan jaman jauh sebelumnya, pernah wanita ideal diidentikkan dengan tubuh yang gemuk dan berlekuk-lekuk layaknya wanita rumahan. Bentuk tubuh ideal pada masa tersebut adalah yang mampu mewakili citra kesuburan. Pernah pula figur-figur langsing semacam Marilyn Monroe atau Kacqueline Onassis menghiasi sampul-sampul majalah-majalah terkemuka dijamannya. Cantik juga pernah diidentikkan dengan figur wanita langsing dan tipis seperti sosok Twiggy, berpenampilan gadis usia belasan tahun, tomboy, rambut pendek seperti laki-laki, dan lebih kurus untuk wanita ukuran normal. Namun ada pula ketika wanita cantik diidentikkan dengan sosok semacam Pamela Anderson, Britney Spears, Cristina Aguilera atau yang lainnya yang belakangan ini makna kecantikan diakomodir oleh figur wanita era millennium.

Pergeseran makna cantik yang selalu berubah mengikuti perkembangan jaman, menunjukkan adanya perubahan konstruksi mengenai kecantikan itu sendiri. Sebagai bagian dari perlekatan konsep wanita ideal, industri media, dalam hal ini iklan-iklan di media massa, memiliki peran melalui lalu lintas pesan yang dikomunikasikannya kepada khalayak(wanita). Silahkan pantau sederetan iklan yang ditampilkan di media televisi. Dari iklan untuk yang menawarkan rokok, minuman penambah energy, obat penambah tenaga dan semangat lembur bagi lelaki, kondom, motor, dll. Banyak produk yang berhubungan langsung dengan perempuan mempergunakan dunia perempuan, semata untuk menarik perhatian. Semua sarat akan eksploitasi tubuh perempuan, sangat merendahkan martabat perempuan serta memberikan contoh pelecehan seksual terhadap perempuan. Iklan tidak jarang menampilkan perempuan sebagai objek seks dan instrumen seks.

Kecenderungan seseorang untuk menemukan kekurangan pada dirinya adalah suatu hal yang sangat memungkinkan. Artinya, seseorang akan melihat dirinya serba kekurangan. Fenomena inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kalangan pembuat iklan untuk memasuki wilayah bawah sadar seseorang. Beberapa produk perawatan tubuh ditawarkan untuk mengeliminir kekurangan-kekurangan itu. Sehingga jika berbicara tentang tubuh perempuan, tidak terlepas dari perdebatan ragam rekayasa citra. Citra akan permaianan tubuh merupakan sebuah permainan yang rapi dan terancang amat baik. Perempuan yang ditampilkan dalam iklan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya patriarki yang hanya menjadikan perempuan sebagai pendamping pria dari mulai remaja sampai nenek-nenek. Dalam iklan, perempuan diidentikkan dengan kegiatan masak-memasak, kecantikan, perawatan tubuh, bentuk-bentuk tubuh yang proporsional, kulit putih, rambut lurus dan panjang. Media terutama iklan memang sangat berpengaruh kuat dalam menentukan gambaran perempuan yang seolah-olah didambakan dalam masyarakat. Banyak iklan yang secara tidak langsung mendiskreditkan peempuan yang dianggap tidak memenuhi Kriteria badan ideal perempuan dewasa.

Perempuan dengan tubuh yang tidak langsing, atau tidak berkulit putih dan berambut lurus tidak mendapatkan tempat dalam media iklan dan bukan tIpe perempuan ideal yang didambakan laki-laki. Citra stereotip perempuan seperti yang disebutkan dalam iklan-iklan melekat dalam masyarakat, maka tidak mengherankan kalau biro iklan selalu mengikuti citra masyarakat dan menggantungkan dirinya pada komodifikasi tubuh peempuan. Karena dalam iklan, segi komersial menjadi pertimbangan utama. Beberapa alasan penyebab dipilihnya perempuan pada sebagian besar iklan adalah ; alasan pertama, karena sebagian besar iklan ditujukan pada perempuan, pembeli potensial dan produk yang diiklankan di Indonesia kebanyakan barang konsumsi sehari-hari. Alasan kedua, yang menentukan pembelian barang-barang ini adalah perempuan. Memang hanya sekitar 30% perempuan adalah bekerja, tetapi survey menunjukkan bahwa mereka tetap memegang peranan dalam soal rumah tangga.

Sosiolog, Dr. Thamrin Amal Tamagola menemukan 5 citra perempuan dalam iklan, yang ia sebut sebagai P-5 : citra peraduan, citra pigura, pilar rumah tangga, citra pergaulan dan citra pinggan. Citra peraduan bersangkut paut dengan citra perempuan sebagai obyek seksual. Paling jelas dalam iklan obat-obat kuat, kondom dan sebagainya.

Citra pigura, perempuan sebagai makhluk yang cantik dan harus selalu menjaga kecantikannya dengan latihan fisik, diet, aksesori, pakaian; segala sesuatu yang mewah diasosiasikan sebagai perempuan. Citra yang paling banyak dieksploitasi adalah perempuan sebagai pilar rumah tangga. Ia harus menjalankan tugasnya mulai dari yang tradisional; sumur, kasur, dapur, sampai dengan yang agak modern, agak mutakhir, tetapi tetap dalam lingkup domestik. Dari dapur sudah sampai ke ruang tamu, menemani tamu suaminya, tapi masih dilingkup domestik. Bapak harus dihormati karena ia bekerja keras mencari nafkah setiap hari, sedangkan ibu harus mengelola keluarga dengan baik, mengurus telaten suaminya.

Sebagai pilar, perempuan juga diharapkan mampu me-manage rumah tangga. Ia sekurang-kurangnya harus mengelola 3 hal. Pertama, barang-barang di dalam rumah. Kedua, mengelola belanja, finansial. Ketiga,mengelola anak-anak dan para pembantu. Perempuan yang bekerja di dalam rumah diharapkan mampu menerapkan manajemen modern di dalam rumah tangga. Disitu konsep tradisional dari perempuan sebagai pilar rumah tangga dan keluarga, yang menggambarkan perempuan memiliki beban ganda sebagai penentu keberhasilan manajemen keuangan keluarga dan sebagai ibu yang bisa mengurus anak dan suami. Iklan untuk berbagai macam alat rumah tangga hasil teknologi, memindahkan konsep-konsep publik ke domestik untuk memberi kesan pekerjaan domestik bukan pekerjaan yang melelahkan dan menghabiskan waktu, tetapi harus dikelola secara efektif, efisien dan sistematik.

Perempuan dalam citra pergaulan ada hubungannya dengan citra peraduan. Anggapan tersirat bahwa perempuan merupakan alat pemuas kebutuhan laki-laki, kecantikan perempuan sepantasnya dipersembahkan kepada laki-laki lewat sentuhan, rabaan, pandangan, ciuman dan sebagainya. Dalam beberapa iklan suplemen makanan dan ramuan tradisional pembangkit gairah seksual, kepuasaan tidak hanya pada laki-laki tetapi juga berdampak pada diri perempuan yang merasa dihargai oleh laki-laki.

Selain itu, dalam konsep Jawa, seorang istri menjadi pendamping yang merefleksikan status, jabatan suami dalam dirinya. Bukannya fisik, tapi perilaku tata kramanya, juga bahan percakapan dan bahasa yang dipakai. Artinya istri harus mengimbangi suaminya dengan percakapan-percakapan yang selevel dengan status suami. Citra pinggang lebih banyak digunakan untuk menawarkan makanan, minuman, bumbu masak, alat-alat rumah tangga dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dapur. Setinggi apapun pendidikan perempuan atau berapa besarpun penghasilan perempuan,ia tak akan dapat jauh dari dapur, kompor, asap penggorengan, bumbu masak dan lain-lain.

ANAK TERLANTAR

Pembangunan sosial di Indonesia hakekatnya merupakan upaya untuk merealisasikan cita-cita luhur kemerdekaan, yakni untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Di negara kita masih sering banyak bermunculan masalah sosial yang tak kunjung henti.

Masalah-masalah sosial tersebut antara lain anak terlantar, anak nakal, balita terlantar, anak jalanan tuna susila, gelandangan, pengemis, korban penyalagunaan narkotika, wanita dan lansia yang diperlakukan salah atau korban kekerasan, penyandang cacat, jompo terlantar, keluarga miskin, keluarga yang kondisi dan perumahan dan lingkungan tidak layak, keluarga bermasalah sosial psikologis, korban bencana alam dan sebagainya. Dari masalah-masalah sosial di tersebut yang sering dijumpai adalah banyaknya anak terlantar ataupun balita terlantar.

Dewasa ini masalah sosial yang sering dihadapi negara kita adalah masalah anak terlantar. Sesuai data Departemen Sosial, jumlah anak terlantar di Indonesia pada 2006 mencapai 2.815.393 anak. Jumlah terbanyak di Jawa Timur sebanyak 347.297 anak, Sumatera Utara 333.113 anak, Jawa Barat 246.490 anak, Jawa Tengah 190.320 anak, dan Sumatera Selatan 146.381 anak. Jumlah anak terlantar di DKI Jakarta sebanyak 14.804 anak
(www.tempointeraktif.com).

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa negara kita masih harus berbenah diri dalam mengatasi masalah anak terlantar. Seperti disebutkan dalam pasal 34 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara“. Pasal ini pada dasarnya merupakan hak konstitusional warga miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia sebagai subyek hak asasi yang seharusnya dijamin pemenuhannya oleh Negara. Pelanggaran HAM ini juga dipastikan melanggar hak asasi anak karena anak-anak secara sosiologis membutuhkan perlindungan keluarga sebagai lingkungan alamiah di mana anak bertumbuh kembang. Ketergantungan anak terhadap keluarga ditegaskan dalam Pembukaan Konvensi Hak Anak (KHA) bahwa meyakini keluarga sebagai kelompok dasar masyarakat dan lingkungan alamiah bagi pertumbuhan dan kesejahteraan semua anggotanya dan terutama anak-anak harus diberikan perlindungan dan bantuan yang diperlukan.

Pada dasarnya, anak merupakan kelompok usia yang memerlukan perawatan dan perlindungan karena anak merupakan suatu kelompok usia yang belum dapat hidup mandiri. Anak sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai insan yang belum dapat berdiri sendiri maka perlu diadakan usaha kesejahteraan anak, terutama bagi anak terlantar agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik rohani, jasmani maupun sosial. Usaha untuk mewujudkan kesejahteraan anak pertama-tama dan terutama menjadi tanggung jawab orang tua. Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Namun demikian, mengingat tingkat penghidupan bangsa Indonesia yang beraneka ragam tingkatnya, maka tidak setiap anak dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Sadar akan keadaan tersebut, maka perlu adanya suatu lembaga untuk mengadakan usaha-usaha guna mewujudkan kesejahteraan anak, terutama ditujukan kepada anak yang mempunyai masalah antara lain anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan dan anak cacat. Dengan pembatasan sasaran tersebut, tidak berarti bahwa anak yang tidak termasuk salah satu golongan di atas tidak berhak mendapatkan usaha kesejahteraan anak.. Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Usaha kesejahteraan anak ini menyangkut usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan dan rehabilitasi yang dilaksanakan dalam bentuk asuhan, bantuan dan pelayanan sosial. Dalam Usaha mewujudkan kesejahteraan anak terlantar di sini lembaga sosial (lembaga kemasyarakatan) sangat berperan penting. Menurut Leopold von Wiese dan Howard becker lembaga masyarakat dapat diartikan sebagai suatu jaringan proses-proses hubungan antarmanusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan-kepentingan manusia dan kelompoknya (Soerjono Soekanto, 1990 : 219).

Anak adalah aset generasi mendatang yang sangat berharga. Bisa dikatakan bahwa baik buruknya hari depan sebuah bangsa ditentukan oleh tangan-tangan pengembannya. Dalam hal ini ditangan anaklah tergenggam masa depan umat. Wajar bila setiap manusia dewasa yang menyadari masalah ini mempersiapkan strategi pendidikan yang baik untuk anak-anak. Tidak
hanya itu, proses tumbuh kembang pun sangat diperhatikan dalam rangka mengarahkan dan membimbing mereka menuju tujuan yang diinginkan. Maka perhatian terhadap hak-hak anak menjadi suatu keharusan untuk mewujudkan cita-cita ini, yaitu membentuk generasi masa depan yang berkualitas.

Teori Fungsionalis dan Marxis: lingkunganlah yang membuat wanita lemah

Teori-teori Freduian secara tidak langsung mengatakan bahwa pembagian kerja secara seksual merupakan akibat wajar dari”kodrat wanita” itu sendiri, yang membuat wanita kurang akttif dibandingkan laki-laki, kurang memiliki keinginan untuk berkuasa karena keinginannya yang paling utama adalah menjadi ibu.

Teori fungsionalis berpendapat bahwa pembagian kerja secara seksual merupakan kebutuhan masyarakat dan diciptakan untuk keuntungan seluruh masyarakat itu sebagai keseluruhan.Teori ini berpendapat bahwa wanita harus tinggal didalam lingkungan rumah tangga karena ini merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi keuntungan masyarakat secara keseluruhan. Karena itulah Murdock mengatakan bahwa
“keluarga inti merupakan pengelompokan manusia yang paling universal, terdapat di segala tempat dan segala jaman”
Meskipun bentuknya sedikit berbeda-beda. Keluarga inti juga diperkuat oleh faktor-faktor lain seperti:
“kerja sama ekonomi yang didasarkan pada pembagian kerja secara seksual.Seperti juga halnya dengan hubungan seksual, kerja sama ekonomi lebih baik bila dilakukan oleh orang-orang yang tinggal bersama, karena dengan begitu mereka jadi saling melengkapi. Kepuasan yang satu akan memuaskan yang
lainnya, dan karena itu akan saling memperkuat”. (Murdock, 1964:41).

Talcot Parson tokoh dari aliran fungsionalis di amerika serikatmengatakn bahwa wanita harus bekerja didalam rumah tangga, maka ditiadakan kemungkinan terjadinya persaingan antara suami dan istri. Pembagian kerja secara seksual memperjelas fungsi suami dan isteri dalam keluarga inti, dan ini memberikan rasa tenang bagi keduanya.Kritik terhadap teori dilancarkan oleh kaum marxis.

Teori fungsionalis
menganggap bahwa keserasian (harmoni) dalam masyarakat adalah sesuatu yang terberi secara wajar.keserasian itu juga perlu dan berguna bagi keseluruhan masyarakat itu sendiri. Menurut kaum marxis, keserasian dalam masyarakat bukan merupakan sesuatu yang terberi, tapi buatan manusia. Dan pembagian kerja secara seksual bias bertahan lama bukan karena itu merupakan sesuatu yang wajar dan alamiah, tapi karena laki-laki masih berkuasa. Engels dalam bukunya ,the origin of the family , private property and the state secara tidak langsung berbicara tentang asal mula pembagian kerja secara seksual ini. Dia berbicara tentang hubungan bentuk masyarakat dan bentuk keluarga.

Engels menolak toeri kaum fungsionalis yang mengatakan bahwa keluarga inti merupakan bentuk keluarga yang universal, ada di segala tempat dan segala waktu. Menurut engels, tergantung pada bentuk masyarakatnya, bentuk keluarga juga berubah-ubah dan perkawinan kelompok terdapat pada masyarakat yang masih liar(savagery). Engels berpaling pada teori muncul akibat munculnya system pemilikan kekayaan pribadi berupa harrta benda. Harta benda tak diwariskan karena tak ada harta benda yang bias dikumpulkan. Milik pribadi seperti alat-alat berburu dan pakaian sering kali dihancurkan kalau pemiliknya meninggal dunia(freud, 1975:15).
PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM


ABSTRACT
Pada hakekatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Meskipun demikian, berbagai macam dan bentuk perjudian dewasa ini sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Mengingat masalah perjudian sudah menjadi penyakit akut masyarakat, maka perlu upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, tidak hanya dari pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi juga dari kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama dan bahu membahu menanggulangi dan memberantas semua bentuk perjudian.

A. Pendahuluan
Dewasa ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Bahkan sebagian masyarakat sudah cenderung permissif dan seolah-olah memandang perjudian sebagai sesuatu hal wajar, sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan. Sehingga yang terjadi di berbagai tempat sekarang ini banyak dibuka agen-agen judi togel dan judi-judi lainnya yang sebenarnya telah menyedot dana masyarakat dalam jumlah yang cukup besar. Sementara itu di sisi lain, memang ada kesan aparat penegak hukum kurang begitu serius dalam menangani masalah perjudian ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan, beberapa tempat perjudian disinyalir mempunyai becking dari oknum aparat keamanan.
Pada hakekatnya, perjudian adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda.
Perjudian merupakan salah satu penyakit masyarakat yang menunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi kegenerasi ternyata tidak mudah diberantas. Oleh karena itu perlu diupayakan agar masyarakat menjauhi melakukan perjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya dan terhindarnya ekses-ekses negatif yang lebih parah untuk akhirnya dapat berhenti melakukan perjudian.

B. Perjudian dalam Perspektif Hukum
Dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.
Mengenai batasan perjudian sendiri diatur dalam Pasal 303 ayat (3) KUHP sebagai berikut : “Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya”.
Ancaman pidana perjudian sebenarnya sudah cukup berat, yaitu dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 303 KUHP jo. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1974 menyebutkan :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barangsiapa tanpa mendapat ijin :
1. Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu.
2. Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara.
3. Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencaharian.
(2) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencahariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian itu.
Meskipun masalah perjudian sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi baik dalam KUHP maupun UU No. 7 tahun 1974 ternyata masih mengandung beberapa kelemahan. Adapun beberapa kelemahannya adalah :
1. Perundang-undangan hanya mengatur perjudian yang dijadikan mata pencaharian, sehingga kalau seseorang melakukan perjudian yang bukan sebagai mata pencaharian maka dapat dijadikan celah hukum yang memungkinkan perjudian tidak dikenakan hukuman pidana
2. Perundang-undangan hanya mengatur tentang batas maksimal hukuman, tetapi tidak mengatur tentang batas minimal hukuman, sehingga dalam praktek peradilan, majelis hakim seringkali dalam putusannya sangat ringan hanya beberapa bulan saja atau malah dibebaskan
3. Pasal 303 bis ayat (1) angka 2, hanya dikenakan terhadap perjudian yang bersifat ilegal, sedangkan perjudian yang legal atau ada izin penguasa sebagai pengecualian sehingga tidak dapat dikenakan pidana terhadap pelakunya. Dalam praktek izin penguasa ini sangat mungkin disalahgunakan, seperti adanya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dengan pejabat yang berwenang.

C. Penutup
Mengingat masalah perjudian sudah menjadi penyakit akut masyarakat, maka perlu upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, tidak hanya dari pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi juga dari kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama dan bahu membahu menanggulangi dan memberantas semua bentuk perjudian.

PERKOSAAN

adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang telah melanggar menurut moral dan hukum. Dalam pengertian lain, pemerkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan. Sedangkan dalam dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: ”barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Pemerkosaaan tidak hanya menghilangkan keperawanan seorang perempuan, namun telah memberi dampak besar bagi korban antaranya; (1) pengucilan dalam keluarga, (2) pengucilan dalam masyarakat, (3) hilangnya rasa percaya diri korban dikarenakan kesucian sebagai salah satu indentitas diri perempuan telah hilang, dan(4) hilangnya hak dalam mengeyam pendidikan. Dampak phisklogis bagi korban sangat besar, korban depresi dan juga bisa berakhir bunuh diri akibat beban mental yang dialami.
Pengertian pasal 285 KUHP, dimana perkosaan didefinisikan ”bila dilakukan hanya di luar perkawinan”. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan (Soerodibroto, 1994). Bila tidak ada aral melintang, tim perumus RUU KUHP melakukan perubahan mendasar dengan memperluas cakupan tindak pidana perkosaan. Bahkan diperinci tindak pidana apa saja yang masuk kategori pemerkosaan, sebut misalnya, oral seks dan sodomi sudah masuk kategori pemerkosaan. dalam RUU KUHP tersebut terdapat delapan jenis tidak pidana pemerkosaan, antaranya; (1) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut; (2) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut; (3) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai; (4) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah; (5), Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 tahun, dengan persetujuannya; (6), Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan padahal diketahuinya bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; (7) Dalam keadaan seperti tercantum di atas, lalu laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; dan (8) Laki-laki memasukkan suatu benda yang buksan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan. (Sumber: Pasal 423 ayat (1) dan (2) RUU KUHP).

Pelecehan seksual (sexual and emotional harassment)
Pecehan seksual yang bisa dikategorikan ke dalam beberapa bentuk, yakni: menyampaikan lelucon jorok dan vulgar, menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, menginterogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya; meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau promosi lainnya. Dilihat dari situsnya, kekerasan dapat dibedakan menjadi kekerasan domestik dan kekerasan publik. Kekerasan domestik terdiri dari tiga jenis, yaitu : intimate violence, private violence dan family violence. Kekerasan publik meliputi segala bentuk pelecehan seksual dan serangan seksual yang dilakukan di tempat-tempat publik. Dalam masyarakat modern, bentuk-bentuk kekerasannya lebih kompleks, tidak saja bersifat fisik tetapi juga psikologis. Tidak juga hanya bersifat seksual personal, tetapi juga struktural, misalnya pelecehan seksual, pelacuran dan pornografi.

Sedangkan dalam KUHP, pelecehan seksual mencakup; pornografi, perbuatan cabul, perkosaan, pelacuran, perdagangan perempuan, aborsi, maupun penggunaan anak di bawah umur untuk pekerjaan berbahaya. Bila dikaitkan dengan permasalahan gender, pelanggaran kesusilaan erat kaitannya dengan tindak kekerasan fisik maupun integritas mental seseorang dan cenderung merupakan kekerasan publik. Kekerasan baik dalam bentuk pelecehan seksual maupun pemerkosaan selama ini terus meningkat Ini menunjukkan bahwa hukum masih sangat lemah dalam memberi perlindungan dan juga memberi sanksi bagi pelaku kejahatan tersebut. Pada tataran lain, kelemahan dalam proses penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian menyangkut laporan korban, dimana korban tidak langsung melapor atau kurangnya bukti terhadap kasus. Akibat lemahnya bukti atau keterlambatan laporan ke pihak kepolisian, menyebabkan korban pelecehan seksual pun kehilangan hak untuk menuntut balas pada pelaku. Pada sisi lain, banyak sekali kasus pelecehan seksual yang tidak pernah sampai ke pengadilan juga disebabkan oleh keengganan korban karena terlalu malu, karna apa yang dialami adalah sebagai aib, kedekatan korban dengan pelaku (teman, partner kerja, saudara atau pacar), atau malah korban tidak menyadari dirinya dilecehkan.

Atas dasar beberapa masalah di atas membuatnya korban kehilangan hak untuk memenjarakan pelaku. Sebenarnya, legalisasi hukum Indonesia sudah jelas, pelecehan seksual secara umum diatur dalam KUHP pasal 281 - 282. Bahkan, pasal 285 KUHP menyebutkan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun." Dengan trauma psikis yang dialaminya, korban biasanya enggan melapor pada polisi. Terlebih lagi, bila korban mengenal dekat sang pelaku. korban untuk melapor membuatnya kehilangan hak untuk memenjarakan pelaku. Walaupun munculnya keberanian korban untuk melapor, pada kasus pelecehan seksual biasanya berhenti saksi, visum atau bukti sah terlah terjadinya sebuah tindakan pelecehan seksual. Berdasarkan pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e).Keterangan Terdakwa. Saksinya pun harus saksi yang berkualitas menurut pasal 185 ayat 2 KUHP. Walaupun pelapor harus menunjukkan bukti yang sah sesuai dengan pasal 184 KUHP, aparat kepolisian tidak bisa menolak pelaporan atau pun pengaduan korban (UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 15 ayat 1 point a dan i).

Maka pelecehan seksual tidak hanya dilihat dalam bentuk langsung, namun pelecehan seksual dapat terjadi dalam bentuk isyarat tubuh si pelaku dianggap telah melanggar kesopanan dan yang terpenting sebagai seorang perempuan tidak mengendaki perlakuan si pelaku tersebut. Apabila pelecehan terjadi, perbuatan tersebut dapat diancam dengan ancaman hukuman seperti yang terdapat dalam KUHP antaranya; (1). Pencabulan, diancam dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 289, 296; (2). Penghubungan Pencabulan KUHP pasal 295, 298, 506; dan (3). Kejahatan terhadap Kesopanan KUHP Pasal 281 - 299, 532, 533.

Sulitnya Pembuktian pelecehan seksual
Dalam kasus pemerkosaan, korban melakukan pemeriksaan medis atau disebut visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang (kepolisian), yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.

Maka dalam kasus pelecehan seksual, pembuktian adalah bagian terberat, terutama apabila tidak ada saksi sewaktu pelecehan tersebut dilakukan. Untuk membuktikan telah terjadi pelecehan seksual, korban harus bisa menghadirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dalam proses perkara tersebut. Umumnya perlakuan melecehkan seseorang dilakukan dalam lingkungan tertutup dan terbatas, atau kalaupun terbuka hanya sedikit orang yang mau dijadikan saksi atas kejadian tersebut, sehingga masalah pelecehan seksual seringkali mengakibatkan kerugian bagi perempuan dari pada si pelaku, bahkan tidak jarang karena tekanan tertentu. Syarat-syarat tertentu, agar si pelaku dapat diadili sesuai dengan ketentuan hukum yaitu KUHAP Pasal 1: (1). Adanya saksi, sekurang-kurangnya 2 (dua) orang; (2). Keterangan Ahli/Saksi Ahli; (3). Surat/Dakwaan; 4. Petunjuk; (5). Dan Keterangan Terdakwa. Karena dalam KUHP adalah “asas satu saksi bukan saksi”. Dalam Pasal 108, Ayat 1, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatakan: Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyelidik dan atau Penyidik baik lisan maupun tertulis.

Isi pasal ini mengandung arti bahwa, bila seseorang mengalami, menyaksikan dan atau menjadi korban suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, maka mengadukan atau melaporkan hal tersebut merupakan hak, bukan kewajiban, dengan demikian tindakan hukum terhadap pelaku pelecehan kalau tidak dilaporkan, maka Polisi atau Penyidik tidak dapat memprosesnya menjadi suatu perkara pidana, kecuali perbuatan tersebut diketahui atau ketangkap tangan oleh petugas yang berhak, maka menjadi kewenangan petugas untuk memproses perkara itu (Pasal 111, Ayat 1, KUHAP). Peristiwa pelecehan seksual tanpa laporan dan ketangkap tangan, maka kewenangan hanya ada dilingkungan peristiwa tersebut terjadi []
PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP REMAJA
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna, karena manusia diberi kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara psikis maupun fisik. Manusia dikatakan sebagai makhluk potensial karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan. Perkembangan diri manusia dipengaruhi oleh dua faktor yang mendasar, yaitu faktor internal (yang berasal dari diri manusia itu sendiri) dan juga faktor eksternal (yang berasal dari lingkungan). Semua itu saling mempengaruhi satu sama lain. Itulah yang mempengaruhi pribadi manusia pada umumnya.
Manusia juga disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan yang dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Pada hakikatnya bimbingan tersebut diharapkan sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri, yang sudah tersimpan sebagai potensi bawaannya, karena itu bimbingan yang tidak sejalan dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negatif bagi perkembangan manusia. Perkembangan yang negatif itu akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang menyimpang. Bentuk tingkah laku yang menyimpang ini terlihat dalam kaitannya dengan kegagalan manusia untuk memenuhi kebutuhan baik yang bersifat fisik maupun psikis.
Berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi dewasa ini, berpengaruh terhadap perubahan sosial pada semua aspek. Perubahan dipermudah dengan adanya kontak dengan lain-lain kebudayaan yang akhirnya akan terjadi difusi (percampuran budaya). Di Indonesia perubahan sudah mulai terjadi setidak-tidaknya pada kelompok tertentu dalam masyarakat misalnya saja pada kelompok remaja. Perubahan itu kiranya dapat dikaitkan dengan perubahan sosial, ekonomi, pendidikan, kurangnya kontrol sosial di daerah perkotaan, bertambahnya kebebasan, bertambahnya mobilitas muda-mudi, meningkatnya usia perkawinan, serta rangsangan-rangsangan seks melalui berbagai sarana hiburan dan media massa. Perubahan-perubahan sosial tersebut mempengaruhi pola kehidupan manusia terutama bagi para generasi muda (remaja). Misalnya cara pandang, cara berpikir, cara bergaul, bahkan pada perilaku seks mereka.
Masa remaja adalah transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Remaja dalam gambaran umum merupakan suatu periode yang dimulai dengan perkembangan masa pubertas dan menyelesaikan pendidikan untuk tingkat menengah. Perubahan biologis yang membawanya pada usia belasan (teenagers) seringkali mempengaruhi perilaku masa remaja. Masa remaja adalah masa yang membedakan antar jenjang anak-anak di satu sisi dan jenjang orang dewasa di sisi lain.
Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif. Perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai kebutuhan seks sehingga apabila pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan dengan atas dasar kesepakatan (dalam artian kesukarelaan) antara kedua belah pihak yang dianggap sah oleh masyarakat, tidak akan timbul permasalahan. Namun apabila tindakan-tindakan yang berkaitan dengan kebutuhan seks dipenuhi tidak berdasarkan secara kesukarelaan (misal ada unsur pemaksaan dan atau kekerasaan) akan berdampak pada permasalahan/keresahan masyarakat. Tindakan-tindakan seksualitas tersebut dimulai dari tingkat yang paling ringan sampai pada terberat, seperti pemerkosaan, semuanya ini merupakan pelecehan seksual. Dikaitkan dengan struktur budaya masyarakat yang didominasi oleh patriarkhi, tindakan pelecehan seksual berhubungan dengan pandangan di masyarakat bahwa perempuan adalah obyek seksualitas, bahkan sebagai obyek kekuasaan laki -laki.
Walaupun sulit mengidentifikasi jenis-jenis perilaku yang secara tegas dapat diartikan “pelecehan seksual”, maka adalah mungkin menggambarkan jenis-jenis perilaku yang dapat dilihat sebagai pelecehan bagi sebagian perempuan. Jenis-jenis perilaku tersebut termasuk gerakan fisik misalnya rabaan, cubitan, tindakan intimidasi atau yang memalukan (kerlingan, siulan, tindakan tidak senonoh), rayuan seks badani dan serangan seks. Tingkah laku yang berupa ucapan seperti pernyataan-pernyataan yang dirasakan sebagai penghinaan, lelucon yang bersifat menghina, bahasa yang bersifat mengancam dan cabul, rayuan seks verbal, hal-hal yang menyinggung perasaan yang bersifat merendahkan (Husband 1992:538).
Secara umum, yang dapat dikategorikan sebagai tindakan pelecehan seksual adalah semua sikap dan perilaku yang mengarah pada perilaku seksual yang tidak disenangi, mulai dari pandangan, simbol-simbol lewat bibir, gerakan badan, tangan, siulan nakal, pandangan yang menelanjangi, mencolek-colek, menunjukkan gambar-gambar porno, mencuri cium, meraba, meremas bagian tubuh tertentu, bahkan sampai memperkosa.
Untuk memahami konsep pelecehan seksual (sexual harassment), terlebih dahulu harus diperhatikan tentang “apa dan siapa yang dilecehkan” secara seksual. Beauvais membaginya dalam 4 kelompok yakni:
Laki- laki melecehkan wanita.
Wanita melecehkan laki-laki.
Heteroseksual melecehkan homoseksual.
Homoseksual melecehkan heteroseksual (Beauvais 1986:130).
Dengan demikian, anggapan sebagian orang tentang pelecehan seksual yang hanya terjadi terhadap wanita ditepis oleh pendapat Beauvais yang menyatakan bahwa istilah pelecehan seksual lebih tepat karena korbannya bisa wanita dan bisa pria.
Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, seperti di bus, pabrik, supermarket, bioskop, kantor, hotel, trotoar, kampus, sekolah baik siang maupun malam. Meskipun pada umumnya para korban pelecehan seksual adalah kaum perempuan, namun hal ini tidak berarti bahwa kaum pria kebal (tidak pernah mengalami) terhadap pelecehan seksual. Pelecehan seksual di tempat kerja seringkali disertai dengan janji imbalan pekerjaan atau kenaikan jabatan. Bahkan bisa disertai ancaman, baik secara terang-terangan ataupun tidak. Apabila janji atau ajakan tersebut tidak diterima, akan berakibat pada korban yaitu kehilangan pekerjaan, tidak dipromosikan, atau dimutasi.
Kelemahan beberapa faktor normatif dan sosio-kultural yang ikut memicu atau setidak-tidaknya memberikan peluang bagi meningkatnya tindakan pelecehan seksual terhadap wanita di tempat kerja dan masyarakat, antara lain, adalah sebagai berikut. Pertama, lemahnya kontrol masyarakat terhadap pelecehan seksual di masyarakat maupun tempat kerja sehingga memungkinkan laki-laki melakukannya dengan perasaan aman-aman saja. Kedua, ketidakberdayaan perempuan dalam menghadapi laki-laki karena wanita secara sosial diposisikan sebagai makhluk yang lemah serta tidak dimilikinya daya kontrol yang kuat untuk dapat melindungi diri dari gangguan laki-laki. Ketiga, perlindungan terhadap wanita dari kemungkinan mengalami pelecehan dan kekerasan masih rendah dan belum mendapat perhatian khusus. Keempat, hukum di Indonesia kurang memberikan jaminan keselamatan perempuan di tempat kerja maupun di masyarakat dari kemungkinan mengalami pelecehan seksual. Kelima, informasi mengenai hak-hak hukum dan fasilitas hukum yang tersedia belum diketahui luas di kalangan perempuan (Muhadjir, 1994:4).
Selain itu, dalam praktek tidak tertutup kemungkinan munculnya peluang tindakan pelecehan seksual sebagai akibat atau rangkaian dari kondisi atau situasi sebagai berikut:
Sebagian masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, berpendapat bahwa ucapan, gerakan, atau tindakan yang berkonotasi seksual bukan merupakan tindakan tercela, melainkan merupakan hal yang lumrah sebagai cara untuk meningkatkan keakraban di antar sesama individu.
Tata rias para perempuan yang berkesan sensual dan sama sekali meninggalkan keanggunan pribadi perempuan membuat laki-laki menjadi berani untuk melakukan tindakan pelecehan seksual lainnya.
Pakaian para perempuan yang tembus pandang, ketat, berbelahan tinggi, atau sedikit terbuka pada bagian tertentu menimbulkan rangsangan seksual bagi laki-laki.
Cara berbicara atau bersikap (duduk, berjalan dan sebagainya) dari para perempuan menimbulkan rangsangan seksual bagi laki-laki (Sumarni 1999:4).
Pelecehan seksual yang dialami hampir sebagaian besar remaja putri menunjukkan bahwa remaja yang dalam proses menuju pendewasaan diri atau sedang mencari identitas diri dalam kehidupan sehari-hari dihadapkan pada kenyataan adanya diskriminasi seks, bukan hanya dalam soal pekerjaan tetapi juga hampir di seluruh aspek kehidupan, termasuk adanya pelecehan seksual ini. Persoalan pelecehan seksual masih dianggap oleh sebagaian besar masyarakat atau bahkan dalam tradisi-tradisi yang berwujud norma atau aturan sebagai hal yang sepele dan hanya merupakan persoalan individu yang bisa diselesaikan sendiri oleh individu tersebut. Padahal pelecehan seksual bisa menyebabkan terganggunya perkembangan kepribadian seseorang apabila remaja baik secara fisik maupun psikis.Ketidakseriusan memahami dan memperkenalkan pelecehan seksual pada remaja terlihat dalam temuan data lapangan bahwa para remaja mendapatkan informasi dan pemahaman pelecehan seksual dari lingkungan terdekat yang sebenarnya lebih paham dan perhatian pada pelecehan seksual, seperti orang tua dan sekolah. Tidak diperolehnya informasi dari lingkungan terdekat tersebut, mengakibatkan muncul pengetahuan dan pemahaman pelecehan yang terlalu sempit dan banyak kasus pelecehan seks dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak perlu dirisaukan.
Pelecehan seksual yang paling sering dialami para remaja justru dianggap bukan dianggap pelecehan oleh para remaja tersebut, yaitu ungkapan atau perkataan yang bersangkut paut dengan penyebutan organ tubuh perempuan, Keadaan ini seolah-olah menunjukkan bahwa telah terjadi hegemoni, artinya para remaja putri tersebut tidak terasa telah dikontruksi sedemikian rupa dalam masyarakat yang patriarkhi ini bahwa penyebutan organ tubuh itu sesuatu hal yang biasa. Padahal kalau dikaji lebih dalam situasi ini memperkuat adanya dominasi laki-laki yang mengkontruksikan perempuan sebagai obyek dan selalu dibawah bayang-bayangnya. Dominasi laki-laki itu bukan hanya dalam wujud fisik saja, tetapi juga dalam wujud yang lebih abstrak tapi lebih hebat, yaitu melalui hukum atau norma yang masih terkandung adanya diskriminasi seks dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.