RSS
Write some words about you and your blog here

Kekerasan Politik Dalam Penerapan Prinsip Demokrasi di Indonesia

Demokrasi sebagai sistem politik modern (demokrasi modern) bukan sekedar demokrasi desa atau demokrasi negara –kota sebagaimana era Yunani dan Romawi kuno. Tetapi, demokrasi negara kebangsaan yang muncul berkaitan dengan perkembangan negara kebangsaan (nation state). Artinya demokrasi memiliki hakikat nasionalisme secara menyeluruh dan bukan sebuah pemahaman nasionalisme dalm arti sempit (baca; chauvinisme) yang berpotensi melahirkan kekerasan politik di sebuah negara Demokrasi.
Huntington secara menarik menamakan perkembangan demokrasi di negara modern (negara bangsa) dengan istilah Gelombang Demokrasi atau gelombang demoratisasi, yang menunjukan fenomena transisi di sejumlah negara dari rezim non-demokratis (otoriter) ke rezim-rezim demokratis yang terjadi pada kuruk-kurun waktu tertentu dan jumlahnya sangat signifikan lebih banyak daripada transisi menuju arah yang sebaliknya.
Dengan analisis gelombang demokrasi yang lebih empirik, Huntungton melihat bahwa demokratisasi di suatu negara mensyaratkan adanya tiga hal, yakni:
a. berakhirnya sebuah rezim yang otoriter,
b. dibangunnya sebuah rezim demokratis,
c. pengkonsolidasian rezim demokratis.
Tampak sekali bahwa Huntington menempatkan demokrasi dan demokratisasi secara empirik berhadap-hadapan dengan sistem politik yang otoriter untuk mengetahui seberapa jauh perkembanagn terbaik dari dua kecendrungan yang bertentangan secara diametral itu. Analisis tentang demokrasi memang menjadi sangat jelas dan bersifat empirik manakala dikaitkan dengan kondisi dan sistem politik yang berada diseberangnya, yakni sistem poltik otoriter.
Gelombang baru tentang demokrasi bahkan saat ini ditandai dengan uoaya melakukan dekonstruksi pemikiran tentang demokrasi, yang seiring dikenal dengan pemikiran tentang “democracy without adjectives”, demokrasi kerakyatan, demokrasi parlementer, dan demokrasi dengan tambahan kata-kata sifat lainnya, selain mereduksi sifay universalitas demokrasi juga pada saat bersamaan merupakan pembatasan-pembatasan terhadap praktik demokrasi yang sesungguhnya. Setiap kata sifat sering kali digunakan oleh pihak penguasa untuk memnatasi pelaksanaan demokrasi sebagaimana mestinya, sehingga demokrasi kehilangan fungsi dalam aktualisasi kehidupan suatu sistem politik di suatu bangsa dan negara. Penguasa di beberapa negara otoriter bahakan seringkali sembunyi dibalik kata-kata sifat itu untuk mengebiri demokrasi dan tegaknya kedaultan rakyat.
Demokrasi sebagai sistem politik modern (demokrasi modern) bukan sekedar demokrasi desa atau demokrasi negara –kota sebagaimana era Yunani dan Romawi kuno. Tetapi, demokrasi negara kebangsaan yang muncul berkaitan dengan perkembangan negara kebangsaan (nation state).
Setiap rezim memang selalu memerlukan conflicts dan management of conflicts. Kedua hal tersebut diyakini penguasa sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan demokrasi. Namun yang lebih sering terjadi justru hal tersebut direkayasa untuk mengalihkan perhatian publik dari suatu persoalan, sekaligus juga menempatkan sang penguasa sebagai pahlawan yang mampu meredakan pertikaian tersebut.
Para operator politik memperlakukan ‘mereka’ sebagai partner shadow boxing hanya untuk sementara waktu hingga tujuan politiknya terpenuhi. Namun celakanya bagi masyarakat yang terprovokasi, ‘mereka’ tetap disembah sebagai berhala, yang kemudian mengkultuskan setiap opini politik yang terbentuk dengan melakukan pembenaran terhadap setiap tindakan, bahkan kekerasan sekalipun. Hal ini tidak berati kita harus menggugat elite politik sebagai pelaku dan penanggungjawab utama kekerasan politik yang selama ini terjadi di masyarakat. Ini hanya sekilas catatan untuk menunjukan apa yang terhilang dari analisis sosial yang terlanjur menonjol dalam masyarkat.
Dalih yang sering dibuat adalah bahwa perilaku tersebut sebagai bagian dari sebuah proses demokrasi. Padahal pemahaman tentang demokrasi tidaklah sempit seperti yang dijabarkan diatas. Bernhard Sutor menyebutkan bahwa demokrasi memiliki tanda-tanda empiris, yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat, memperoleh informasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan berkoalisi, berkumpul dan berdemonstrasi, mendirikan partai-partai, beroposisi, pemilihan yang sama, bebas, rahasia atas dasar nilai dua alternatif, dimana para wakil dipilih untuk waktu terbatas .
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah poko yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan pemerintah negara oleh karena kebijaksanaan tersebut menyangkut kehidupan rakyat juga. Meskipun pada umumnya pengertian demokrasi dapat dikatakan tidak mengandung kontradiksi karena di dalamnya meletakkan posisi rakyat dalam posisi yang amat penting, namun pelaksanaannya (perwujudannya) dalam lembaga kenegaraan ternyata prinsip ini telah menempuh berbagai rute yang tidak selalu sama.
Adanya berbagai rute atau pengejawantahan tentang demokrasi itu menunjukkan pula beragamnya kapasitas peranan negara maupun rakyat. Ada negara yang memberikan peluang yang amat besar terhadap peran rakyat yang melalui sistem pluralisme-liberal, dan ada juga yang sebaliknya negara yang memegang dominasi yang jauh lebih besar daripada rakyatnya. Studi politik tentang Dunia Ketiga yang umumnya memperlihatkan lebih dominannya negara daripada peranan rakyat telah melahirkan berbagai konsep yang dimaksudkan sebagai alat pemahaman bagi realitas tersebut. Berbagai uapaya pemahaman dengan memberikan pijakan teoritis itulah telah menunjukkan betapa di negara Indonesia telah terjadi hubungan tolak-tarik antara negara dengan masyarkat dalm memainkan peranannya.
Penting kiranya untuk segera memberikan porsi yang layak bagi pembangunan demokrasi, serta menciptakan suatu kebijakan publik yang mampu mengatur agar simbol-simbol kekerasan tidak digunakan, setidaknya dibatasi, dalam wacana politik. Dan yang terpenting agar penalaran masyarakat tidak diredusir dari esensi menjadi simbol dan menyihir simbol menjadi esensi. Masyarakat perlu diberi ketentraman untuk mengembangkan demokrasinya, bukan dicabik untuk kepentingan politik.
Namun, kini kita menyaksikan kecenderungan yang semakin kuat munculnya public podium yang bersifat merusak tradisi demokrasi di berbagai wilayah di Tanah Air. Ikatan-ikatan kepercayaan yang dibangun oleh kelompok-kelompok masyarakat cenderung semakin menyempit, meniadakan pentingnya pluralisme. Kecenderungan semacam ini sudah barang tentu mendorong pengerasan batas-batas antar kelompok dalam transaksi politik. Akibatnya, arena publik sebagai arena penyelamatan masyarakat berubah menjadi arena kekerasan politik.
Setidaknya ada dua bentuk model kekerasan politik, yakni kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Dalam tataran struktural, kekerasan politik dipahami sebagai hasil hubungan-hubungan sosial atau struktural dimana para pelaku tersebut berada. Nilai dan norma dipandang sebagai imperatif struktural yang terinternalisasi dalam diri individu, sehingga orang berprilaku selaras dengan-atau fungsional terhadap sistem.
Menurut Muhammad Asfar, ada empat kondisi struktural yang menjadi akar persoalan munculnya kekerasan politik :
Pertama, kekerasan politik tersebut merupakan reaksi beberapa kelompok masyarakat, khususnya pendukung OPP tertentu, yang menilai para pemegang kekuasaan kurang adil dalam mengelola berbagai konflik dan sumber kekuasaan yang ada. Bahkan dengan wewenang strukturalnya memakai cara-cara non-dialogis, non-musyawarah untuk menyelesaikan konflik kepentingan. Karena tidak memakai cara-cara dialogis dan beradab untuk menyelesaikan konflik, maka jalan kekerasan kekuasaanlah yang dipakai untuk memenangkan kepentingan terhadap lawan-lawan yang bersengketa atau berbeda kepentingan.
Kedua, cara-cara kekerasan politik tersebut ditempuh karena para pelaku menilai bahwa institusi-institusi demokrasi tidak mampu mengartikulasikan dan mengagregatkan berbagai kepentingan politik dalam masyarakat. Akibatnya, berbagai kelompok yang tidak mempunyai akses kepada kekuasaan menyalurkan berbagai aspirasi politiknya melalui cara-cara diluar lembaga demokrasi yang ada. Strategi perjuangan politik kemudian dilakukan di jalan dan tidak jarang dengan cara kekerasan.
Ketiga, akibat kekakuan lembaga-lembaga politik sehingga mereka tidak mampu menampung dan menyelesaikan berbagai konflik kepentingan dalam masyarakat. Akibatnya setiap ada perbedaan dan konflik kepentingan dengan kelompok lain, terutama kelompok yang berkuasa, masyarakat memendam berbagai perasaan konflik tersebut. Ketika berbagai perasaan konfliktual ini terakumulasi, dan ada kesempatan untuk melampiaskannya—misalnya pada masa kampanye pemilu—maka kekerasan politik sebenarnya terletak pada kekakuan lembaga-lembaga politik.
Keempat, adanya beberapa tekanan pemerintah di satu sisi dan tidak terpenuhinya di sisi lain. Dalam banyak kasus, tidak jarang masyarakat merasa tidak berdaya dalam menghadapi berbagai ketentuan pemerintah. Sebagian masyarakat merasa hak-haknya telah dirampas oleh pihak-pihak tertentu. Ketika sebagian warga yang mempunyai hak pilih tidak memperoleh kartu suara karena beberapa oknum panitia pemilihan, masyarakat merasa hak mereka telah dirampas oleh oknum tersebut. Ketika diperjuangkan selalu membentur tembok kekuasaan, yang memenangkan pihak status quo kepentingan sendiri, sehingga ketidakadilan lalu mengkristal menjadi struktur tidak adil. Keadaan seperti ini mengakibatkan frustasi, yang pada akhirnya disalurkan melalui tindak kekerasan.
Sedangkan dalam tatanan kultural, kekerasan lebih dikarenakan faktor budaya suatu komunitas. sebagai faktor pendukung (stimuli) adalah rendahnya tingkat pendidikan dalam masyarakat. Fanatisme keagamaan sangat sempit dengan prinsip apa yang didengarkan orang dan juga faktor kesejahteraan menjadi alasan berbuat asosial.
Jika Violence Studies kita arahkan dalam perspektif sosial, setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan; pertama, membebaskan tradisi kekerasan dalam proses relasi politik dalam penetapan sebuah kebijakan publik. Apa yang dilakukan disini sama artinya dengan melakukan transformasi demokrasi dalam tataran praktis.
Kedua, konsekuensi dari poin pertama tersebut adalah dengan melakukan kritik terhadap setiap pewacanaan yang benar yang mencakup bahasa, stratifiksi sosial, politik, ekonomi, budaya termasuk Pengistilahan RAS. Transformasi ini berjalan tanpa henti untuk mencapai tujuan.
Ketiga, sikap kritis-transformatif poin kedua tersebut menggunakan prinsip; “ mempertahankan sistem yang baik dan mengambil sistem baru yang lebih baik”, sebab banyak juga value system yang lebih baik di dunia ini.

Negara, Kekerasan dan Sistem Politik
Apabila negara dianggap sebagai kekuatan reaksioner yang bertujuan memulihkan tatanan tradisional, atau gerakan progresif kepentingan rakyat menentang negara, kekaisaran, dan dinasti, maka tidak ada kekuasaan yang mampu mencegah negara untuk menggunakan kekerasan atau terlibat dalam tindak kekerasan. Semua tipe atau kategori negara pasti mempunyai kecenderungan untuk mengabsahkan penggunaan kekerasan terhadap pihak lain yang dipersepsi sebagai orang-orang yang mengancam eksistensi negara. Negara dihubungan dengan bentuk-bentuk kekerasan dalam banyak hal. Pertama, negara membangkitkan dikotomi konseptual dan psikologis yang cenderung mendorong tindak kekerasan politik. Kedua, negara dilibatkan dalam perjuangan memperebutkan otonomi politik yang dipahami sebagai kontrol atas instrumen koersif dan regulasi wilayah. Ketiga, kekerasan negara berhubungan dengan peran penting peperangan dalam perkembangan historis negara.
Dalam negara demokrasi baik di Amerika dan Perancis, dimana kemerdekaan, kebebasan, persamaan, wibawa hukum dihormati dan dijunjung tinggidalam konstitusi, ternyata penindasan terlindung cukup aman dan terhormat. Demokrasi yang ganjil seperti ini oleh Soekarno disebut sebagai demokrasi yang antisosial, sebab tidak menyelamatkan, menyejahterakan, dan melindungi segenap masyarakat.
Negara dan sistem politik yang dianut merupakan aspek yang berhubungan erat dengan aktivitas dan kedudukannya dalam penggunaan kekerasan. Pandangan state centcred bahwa negara adalah aktor yang turut bermain dalam arena, termasuk menentukan sistem politik yang dianut dan adanya upaya untuk memonopoli dan melitigimasi penggunaan kekuatan fisik.
Terlepas dari segala kekurangan yang ada, tampaknya sistem politik demokrasi memiliki sumber kekuasaan negara yang cenderung persuasif. Namun, tidak berarti sistem politik bebas dari kekerasan politik, karena di dalam sistem politik demokrasi juga melekat kekerasan struktural, kekerasan memang gejala yang serba hadir. Penulis: Teguh Arifiyadi, SH (Inspektorat Jenderal Depkominfo)

Tulisan boleh dikutip/di copy/di cetak/diperbanyak sepanjang menyebut nama sumber.

MASALAH-MASALAH SOSIAL

A. Pengertian Masalah (Problem) Sosial
Masalah sosial dalam perspektif sosiologis sering disebut sebagai problem sosial (social problems) (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984). Masalah sosial merupakan suatu gejala (fenomena) sosial yang mempunyai dimensi atau aspek kajian yang sangat luas atau kompleks, dan dapat ditinjau dari berbagai perspektif (sudut pandang atau teori). Oleh karena itu banyak dijumpai beragam pengertian atau definisi tentang masalah sosial (social problems) yang dikemukakan oleh para ahli. Dari beragam pengertian tentang masalah sosial, dapat disimpulkan bahwa suatu fenomena atau gejala kehidupan dikatakan sebagai masalah sosial (social problems) adalah apabila: (1) sesuatu yang dilakukan seseorang itu telah melanggar atau tidak sesuai dengan nilai-norma yang dijunjung tinggi oleh kelompok; (2) sesuatu yang dilakukan individu atau kelompok itu telah menyebabkan terjadinya disintegrasi kehidupan dalam kelompok; dan (3) sesuatu yang dilakukan inidividu atau kelompok itu telah memunculkan kegelisahan, ketidakbahagiaan individu lain dalam kelompok (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984).
Karena studi masalah sosial itu begitu kompleks, maka analisis tentang suatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) juga dapat diinjau dari beragam perspektif (beragam teori), misalnya sesuatu dikatakan problem menurut teori fungsional struktural akan berbeda dengan menurut teori konflik, atau teori interaksionis simbolik, atau teori integrasi (dalam kajian berikut akan disinggung masing-masing teori). Menurut Parrilo dalam Soetomo (1995), untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu diperhatikan empat hal, yaitu: (1) masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu tertentu; (2) dirasakan dapat menyebabkan beragam kerugian secara fisik dan non fisik pada individu dan kelompok; (3) merupakan pelanggaran terhadap nilai atau standar sosial atau sendi-sendi kehidupan masyarakat; dan (4) menuntut adanya usaha untuk dicarai pemecahannya.

B. Masalah Sosial Dalam Perspektif Teoritis
Dalam perspektif sosiologi, dijumpai berpuluh-puluh teori yang digunakan untuk memahami fenomena sosial. Berikut ini hanya dikemukakan empat teori dalam mencermati atau memahami tentang fenomena sosial, yaitu; (1) teori fungsional struktural; (2) teori konflik; dan (3) teori interaksionis simbolik. Karena keterbatasan ruang/tempat maka pandangan keempat teori tersebut dalam makalah ini hanya dijelaskan konsep-konsep dasarnya saja, dan diharapkan para pembaca bisa mendalami lebih lanjut pada pustaka yang menjadi rujukan kajian ini.
Pertama, teori fungsional struktural. Ada beragam versi teori fungsional struktural. Berikut ini dikemukakan pandangan teori fungsional struktural versi Parsons dalam memahami fenomena sosial, antara lain: (1) konsep kultur, dipandang sebagai sistem simbol yang terpola, teratur yang menjadi orientasi para individu untuk bertindak, berpribadi, bersosialisasi dalam sistem sosial. Jadi, kultur akan menjadi faktor eksternal untuk menekan pola tindakan individu dalam kelompok; (2) konsep sistem. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan hidup dalam kelompok (integrasi sosial). Sistem bergerak dalam proses perubahan yang teratur (evolusi); (3) konsep integrasi. Persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi sosial di dalam sistem sosial adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Dalam proses sosialisasi, nilai dan norma diinternalisasikan (norma dan nilai menjadi bagian dari ‘kesadaran’ aktor), sehingga aktor mengabdi pada kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan. Individu atau aktor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses sosialisasi; dan (4) konsep perubahan,sosial. Teori ini memandang bahwa: (a) proses perubahan yang terjadi akan mengarah pada keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal, perlu dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem; (b) perubahan evolusi masyarakat adalah mengarah kepada ‘peningkatan kemampuan adaptasi’, menuju keseimbangan hidup; dan (c) apabila terjadi perubahan struktural, maka akan terjadi perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan (perubahan sistem nilai-nilai terpenting) (Sztompka, P. 1993; Ritzer dan Goodman, 2003). Masih banyak ciri pandangan teori fungsional struktural yang dikemukakan para teoritisi fungsional struktural.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori fungsional struktural tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu bertentangan dengan budaya sebagai sistem simbol yang dijadikan sebagai orientasi untuk berpola perilaku; (b) sesuatu itu menyebabkan terjadinya disintegrasi atau memudarkan jalinan antar unsur dalam suatu sistem; (c) perubahan sosial yang terjadi bersifat revolusioner akan menghasilkan ketidakseimbangan dalam sistem sosial.


Kedua, teori konflik. Ada banyak versi teori konflik, berikut ini hanya dikemukakan teori konflik versi Dahrendorf. Beberapa konsep dasar pandangan teori konflik Dahrendorf dalam memahami fenomena sosial, antara lain: (1) setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di lapisan atas; (2) teori konflik menekankan peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat; (3) bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus Bahwa masyarakat tidak ada tanpa konsensus dan konflik, keduanya menjadi persyaratan satu sama lain. Kita tak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya, sebaliknya konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi; (4) ‘bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas yang beragam. Otoritas tidak terletak di dalam individu, tetapi melekat pada posisi. Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis fenomena sosial; (5) otoritas individu ini tunduk pada kontrol yang ditentukan masyarakat. Karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang; (6) masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas; (7) hubungan konflik dengan perubahan adalah bahwa konflik merupakan realitas sosial, dan konflik berfungsi sebagai penyebab terjadinya perubahan dan perkembangan (konflik yang hebat akan membawa perubahan dalam struktur sosial) (Abraham, F.M. 1982; Ritzer dan Goodman, 2003)..Masih banak cirri teori konflik Karl Marx, dan teori neokonflik.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori konflik tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu tidak sesuai dengan kebijakan otoritas penguasa yang berfungsi untuk mempertahankan ketertiban masyarakat; (b) otoritas aktor (individu) tidak tunduk pada kontrol yang ditentukan oleh masyarakat; dan (c) perubahan sosial yang terjadi bersifat evolusi, sehingga kurang menciptakan dinamika kehidupan sosial.
Ketiga, teori interaksionis simbolik. Beberapa konsep dasar pandangan teori interaksionis simbolik H.Mead dalam memahami fenomena sosial atau tindakan individu, antara lain: (1) konsep realitas sosial. Realitas sosial yang sejati itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika manusia bertindak ‘di dan terhadap’ dunia. Apa yang nyata bagi manusia tergantung pada definisi atau interpretasi atau pandangan individu itu sendiri; (2) konsep pandangan tentang ‘individu’. Bahwa Individu merespons suatu situasi simbolik. Individu merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (tindakan sosial) berdasarkan makna yang terkandung dalam objek tersebut. Ketika individu menghadapi situasi, responnya bukan bersifat mekanis, tidak juga ditentukan oleh objek itu (eksternal seperti pandangan teori fungsional struktural dan teori konflik), melainkan ditentukan oleh ‘Diri, Jiwa, Pikiran’ individu dalam menginterpretasikan atau mendefinisikan situasi, dan diri, jiwa, pikiran sifatnya dinamik; dan (3) konsep pandangan tentang masyarakat. Bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi, tergantung pada pikiran individu. Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu. Dengan demikan masyarakat secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran individu terus berubah melalui interaksi simbolik (Abraham, F.M. 1982; Ritzer dan Goodman, 2003).
Jadi, individu adalah rasional dan produk dari hubungan sosial (interaksi sosial); Masyarakat adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu; Realitas sosial adalah bersifat individu dan sosial yang dinamik; Interaksi sosial meliputi pikiran, bahasa dan kesadaran akan diri sendiri; Interaksi sosial mengarah pada komunikasi non verbal. Sikap dan emosi individu dan kelompok dipelajari melalui bahasa; Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori interaksionis simbolik tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu tidak didasarkan pada pandangan, motivasi, tujuan yang ada pada Diri, Jiwa dan Pikiran individu dari proses menangkap simbol-simbol dalam interaksi; dan (b) sesuatu itu hasil dari tekanan struktural (kekuatan eksternal) yang bersifat statis.

C. Sumber Masalah Sosial Dalam Pendekatan Individu dan Pendekatan Kelompok
Berdasarkan uraian masalah sosial ditinjau dari perspektif teoritik di atas, para ahli mengelompokkan tentang sumber masalah sosial kedalam dua sudut pandang atau pendekatan, yaitu: (1) pendekatan individu (faktor internal); dan (2) pendekatan sosial atau kelompok (faktor eksternal).
Pertama, pendekatan individu. Pendekatan ini lebih berorientasi pada teori interaksionis simbolik. Dalam pendekatan ini memandang bahwa sumber masalah sosial

(problem sosial) adalah disebabkan oleh kondisi internal individu yang ‘eror’ atau ‘menyimpang’. Kondisi individu yang menyimpang ini dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) kondisi individu menyimpang karena faktor biologis (fisik) yang mendorong untuk menyimpang; dan faktor mentalitas (kejiwaan) negatif yang mendorong periaku menyimpang; dan (b) kondisi individu menyimpang karena faktor sosialisasi sub budaya menyimpang. Misalnya lingkungan keluarga yang disintegratif; Kedua, pendekatan kelompok. Pendekatan ini lebih berorientasi pada teori fungsional struktural dan teori konflik. Pendekatan ini memandang bahwa sumber masalah sosial disebabkan oleh faktor: (a) desain perencanaan pembangunan tidak disusun baik, atau pelaksanaan pembangunan telah menyimpang dari perencanaan yang ada; (b) adanya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat yang begitu besar; (c) terjadinya pemberontakan atau peperangan atau koflik politik dan militer (disintegrasi sosial-politik); (d) terjadinya bencana alam yang membawa kehancuran infrastruktur; dan (e) struktur kekuasaan negara yang bersifat absolut atau otoriterianisme atau berkembangnya sistem diskriminasi (Soetomo, 1995; Liliweri, A.. 2005).

D. Beragam Masalah Sosial Dalam Pembangunan

1. Masalah Kemiskinan
Dalam kajian sosiologi pembangunan, konsep kemiskinan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) kemiskinan absolut (a fixed yardstick). Konsep kemiskinan absolut ini dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkit. Ukuran ini lazimnya berorientasi pada kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pangan, papan dan sandang. Besarnya ukuran setiap negara berbeda; (2) kemiskinan relatif (the idea of relative). Konsep kemiskinan relatif ini dirumuskan berdasarkan atau memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Asumsi ini, bahwa kemiskinan di daerah satu dengan daerah lain tidak sama, demikian juga antara waktu dulu dengan sekarang berbeda; (3) kemiskinan subjektif. Konsep kemiskinan sbjektif ini dirumuskan berdasarkan perasaan individu atau kelompok miskin. Kita menilai individu atau kelompok tertentu miskin, tetapi kelompok yang kita nilai menganggap bahwa dirinya bukan miskin, atau sebaliknya. Konsep kemiskinan ketiga inilah yang lebih tepat apabila memahami konsep kemiskinan dan bagaimana langkah strategis dalam menangani kemiskinan (Usman, S. 1998; Tjokrowinoto, W. 2004).
Secara sosiologis, kemiskian merupakan salah satu problem sosial yang paling serius dialami oleh negara-negara berkembang. Secara umum kajian tentang kemiskinan dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu: (1) perspektif kultural (cultural perspective); dan (2) perspektif struktural atau situasional (situational perspective). Kedua perspektif tersebut mempunyai asumsi, metode dan pendekatan yang berbeda dalam menganalisis tentang kemiskinan.
Pertama, perspektif kultural. Konsep kemiskinan dalam perspektif kultural dikelompokkan menjadi tiga tingkatan analisis, yaitu: (1) tingkatan individu, hal ini berarti kemiskinan karena mentalitas individu yang malas, apatis, fatalistik, pasrah, boros, dan tergantung (mentalitas negatif); (2) tingkatan keluarga, hal ini berarti kemiskinan karena jumlah anak dalam keluarga sangat besar, dengan pola budaya keluarga yang tidak produktif; dan (3) tingkatan masyarakat, hal ini berarti kemiskinan kerena tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif.
Kedua, perspektif struktural. Konsep kemiskinan dalam perspektif struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena dampak dari faktor-faktor struktur masyarakat (faktor eksternal), yaitu terjadinya kemiskinan karena: (1) program atau perencanaan pembangunan yang tidak tepat; (2) pelaksanaan kekuasan pemerintahan (birokrasi pemerintah) yang korup; (3) kehidupan sosial-politik yang tidak demokratis atau otoriter; (4) sistem ekonomi liberalistik atau kapitalistik; (5) berkembangnya teknologi modern atau industrialisasi yang mekanistik disemua aspek; (6) kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat sangat tinggi; (7) globalisasi ekonomi dan pasar bebas. Jadi, menurut perspektif struktural kemiskinan itu terjadi karena faktor ekternal, sedangkan menurut perspektif kultural kemiskinan itu terjadi karena mentalitas individu atau kelompok (Usman, S. 1998; Tjokrowinoto, W. 2004).
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan antara lain: (1) menyusun perencanaan pembangunan yang tepat dan integral; (2) melaksanakan program pembangunan di segala bidang, yang berbasis kerakyatan; (3) meningkatkan kualitas layanan pendidikan secara maksimal sesuai dengan amanat UUD 1945; (4) reformasi birokrasi (transparansi, efisiensi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya pembangunan); (5) menegakkan kepastian hukum dan berkeadilan; dan (6) meningkatkan peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan media massa dalam proses pembangunan (Dwipayana, Ari (Ed). 2003; Tjokrowinoto, W. 2004)




2. Masalah kenakalan remaja atau perilaku menyimpang remaja
Pengertian perilaku menyimpang (deviasi sosial) adalah semua bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Jadi, perilaku menyimpang remaja adalah semua bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat (ooooo). Diantara bentuk atau macam-macam perilaku menyimpang remaja antara lain: (a) tawuran antar pelajar; (b) penyimpangan seksual meliputi homoseksual, lesbianisme, dan hubungan seksual sebelum nikah; (c) alkoholisme; (d) penyalahgunaan obat terlarang atau narkotika; (e) kebut-kebutan di jalan raya; (f) pencurian atau penipuan, dan bentuk-bentuk tindakan kriminalitas lainnya
Kenakalan remaja pada umumnya diawali dari munculnya gejala-gejala, antara lain: (1) sikap apatis terhadap kewajiban-kewajiban normatif yang melekat pada dirinya; (2) adanya kecenderungan sikap untuk suka mengganggu teman lainnya; (3) sikap kecewa yang berlebihan karena tidak terpenuhinya keingian tertentu; (4) kurang fokus atau perhatian terhadap suatu agenda kegiatan tertentu; (5) sikap takut yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap merugikan dirinya; dan (6) ketidakmampuan untuk berperan dalam kelompok atau sikap ‘manja’ yang berlebihan (Sudarsono, 1995).
Bentuk penyimpangan perilaku remaja dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (a) penyimpangan primer, yaitu penyimpangan yang sifatnya temporer, sementara, dan masyarakat masih bisa mentolerir; (b) penyimpangan sekunder, yaitu penyimpangan yang dapat merugikan atau mengancam keselamatan orang lain, misalnya tindakan kriminal; (c) penyimpangan kelompok, yaitu penyimpangan yang dilakukan secara kelompok, misalnya geng untuk berkelahi, narkotik; dan (d) penyimpangan individu, yaitu perilaku menyimpang yang dilakukan secara sendiri.
Faktor-faktor penyebab terbentuknya perilaku menyimpang remaja, antara lain: (a) ketidaksanggupan menyerap norma budaya; (b) adanya ikatan sosial yang berlainan dengan yang dimiliki; (c) akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang; (d) akibat kegagalan dalam proses sosialisasi; (e) sikap mental yang tidak sehat; (f) keluarga yang broken home atau keluarga yang disintegrasi; (g) pelampiasan rasa kecewa yang berlebihan; (h) dorongan yang berlebihan untuk dipuji; (i) proses belajar yang menyimpang; (j) dorongan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang salah; dan (k) pengaruh lingkungan dan media masa yang negatif (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Sudarsono, 1995).
Diantara langkah strategis untuk meminimalkan terjadinya kenakalan remaja antara lain: (1) menciptakan kehidupan rumah tangga yang beragama (menunjung tinggi nilai spiritual); (2) menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis (hubungan antara ayah, ibu dan anak terjalin dengan baik); (3) mewujudkan kesamaan nilai, norma yang dipegang antara ayah dan ibu dalam mendidik anak; (4) memberikan kasih sayang secara wajar atau proporsional (tidak memanjakan anak); (5) memberikan perhatian secara proporsional terhadap beragam kebutuhan anak; (6) memberikan pengawasan secara wajar atau proporsional terhadap pergaulan anak di lingkungan masyarakat atau teman bermainnya; dan (7) memberikan contoh tauladan yang terbaik pada anak, dan setiap pemberian layanan pada aak diarahkan pada upaya membentuk karakter atau mentalitas positif (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Wilis,S. 1994).

3. Masalah Lingkungan Hidup
Problem atau masalah lingkungan hidup harus menjadi perhatian yang sangat serius, karena persoalan lingkungan adalah: (a) menyangkut jaminan kualitas kelangsungan kehidupan generasi dimasa-masa yang akan datang; dan (2) kegagalan dalam menangani persoalan lingkungan akan membawa dampak negatif disemu sektor kehidupan, baik dalam level lokal, nasional dan bahkan dunia, misalnya: terjadinya bencana banjir, pemanasan global; tanah longsor dan sebagainya.
Proses pembangunan dan industrialisasi di negara-negara maju dan berkembang ternyata membawa dampak munculnya masalah pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, pencemaran udara, pencemaran laut atau air. Meningkatnya pencemaran lingkungan tersebut secara langsung atau tidak langsung mendorong munculnya beragam problem kehidupan di berbagai aspek, misalnya: (1) tingkat kualitas kesehatan masyarakat semakin terancam; (2) kualitas kesuburan tanah dan ekosistem lingkungan fisik terancam; (3) kualitas air sebagai sumber kehidupan semakin tercemar; (4) terjadinya pencemaran udara, karena polusi industri, dan sebagainya.
Menurut Eitzen, dalam Soetomo (1995), ada beberapa faktor kekuatan sosial (perilaku manusia) yang menyebabkan terjadinya penceran dan ancaman kelestarian lingkungan, antara lain: (1) pertumbuhan penduduk yang pesat dan mengakibatkan meningkatnya permintaan akan makanan, energi dan beberapa kebutuhan lainnya; (2) konsentrasi penduduk di daerah perkotaan (urbanisasi) menyebabkan munculnya beragam limbah yang dapat merusak ekosistem; (3) proses pembangunan dan modernisasi yang meningkatkan pengunaan tekbologi modern yang bersifat konsumerisme dan mengabaikan keselamatan

lingkungan; dan (4) aktivitas dan mekanisme pasar, bekerja tanpa pertimbangan keselamatan atau kelestarian lingkungan hidup.
Ada beberapa langkah strategis dalam menangani masalah pencemaran lingkungan hidup, yaitu: (1) menerapkan sistem hukum secara tegas dan berkeadilan terhadap setiap pelaku penceramaran lingkungan; (2) melakukan gerakan perlawanan terhadap pencemaran lingkungan hidup pada semua lapiran masyarakat, misalnya gerakan reboisasi, menjalankan konservasi, dan melakukan daur ulang; (3) melakukan kontrol dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk; (4) melakukan inovasi teknologi, yaitu teknologi yang ramah lingkungan; (5) membudayakan gaya hidup masyarakat yang konsumeris dan mekanis (orientasi kekinian) berubah pada orientasi hidup pada kelangsungan generasi mendatang (orientasi masa depan); dan (6) mengembangkan pendidikan kelestarian lingkungan di setiap jenjang pendidikan (Soetomo, 1996, Usman, S. 1998)

4. Masalah Konflik SARA
Masalah konflik Suku, Agama, Ras dan Antar kelompok (SARA), bagi negara-negara berkembang yang multikultural (termasuk Indonesia) adalah problem yang sewaktu-waktu bisa muncul, dan dapat mengganggu kelancaran proses pembangunan. Oleh karena setiap desain pembangunan dan pelaksanaan pembangunan harus betul-betul meminimalkan terjadinya konflik SARA (Warnaen, S. 2002; Nugroho, F, (eds). 2004). Unsur-unsur konflik SARA adalah: (a) ada dua pihak atau lebih yang terlibat konflik; (b) ada tujuan yang menjadi sasaran konflik, dan tujuan tersebut sebagai sumber konflik; dan (c) ada perbedaan pikiran, perasaan dan tindakan untuk meraih tujuan yang saling memaksakan atau menghancurkan.
Ciri-ciri konflik SARA adalah: (a) bersifat alamiah; (b) anggota suku, agama, ras, antar kelompok yang terlibat konflik cenderung lebih terdorong untuk melakukan konflik berikutnya untuk kepentingan kelompoknya; (c) umumnya terjadi antara SARA mayoritas dengan minoritas; (d) sering diiringi dengan kekerasan yang berlangsung dalam ruang dan waktu tertentu; (e) mereka yang terlibat konflik merasa belum puas karena kebutuhan mereka belum terpenuhi; dan (f) konflik melibatkan dua kelompok kepentingan yang saling memperebutkan kebutuhan hidup (Suryadinata, L., dkk. 2003; ; Liliweri, A.. 2005).
Sumber-sumber konflik SARA, yaitu: (a) perbedaan orientasi nilai budaya dan masing-masing saling memaksakan kehendak; (b) tertutupnya pintu komunikasi antar masing-masing pihak sehingga tidak bisa saling memahami pola budaya; (c) kepemimpinan yang tidak efektif; pengambilan keputusan yang tidak adil; (d) ketidakcocokan peran-peran sosial, yang disertai dengan pemaksaan kehendak; (e) produktivitas masing-masing pihak rendah dalam kelompok, sehingga kebutuhan kelompok tidak terpenuhi; (f) terjadinya perubahan sosial budaya yang bersifat revolusioner, sehingga terjadi disintegrasi sosial-budaya; (g) karena latar belakang historis yang tidak baik; dan (h) kesenjangan sosial-ekonomi (Soetomo, 1995; Liliweri, A.. 2005).
Strategi penyelesaian konflik, antara lain: Pertama, melakukan manajemen konflik. Manajemen konflik adalah: “tindakan konstruktif yang direncanakan, diorganisasi, digerakkan dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demi mengakhiri konflik”. Ada delapan konsep dalam melakukan manajemen konflik, yaitu: (a) pengakuan diri bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada konflik; (b) analisis situasi yang menyebabkan konflik; (c) analisis pola perilaku pihak-pihak yang terlibat konflik; (d) menentukan pendekatan konflik yang dapat dijadikan model penyelesaian; (e) membuka semua jalur-jalur komunikasi, baik langsung atau tidak langsung; (f) melakukan negoisasi atau perundingan dengan pihak-pihak yang terlibat konflik; (g) rumuskan beberapa anjuran, alternatif, konfirmasi relasi sampai tekanan; dan (h) hiduplah dengan penuh motivasi kerja dengan konflik. Semua konflik tidak mungkin dihilangkan sama sekali, yang bisa hanya diminimalkan.
Kedua, melakukan analisis konflik, yaitu melakukan penelitian tentang pola budaya antar etnik atau kelompok yang sedang konflik. Tujuan penelitian ini adalah: (a) akan dapat melacak sejarah etnik, karena sejarah budaya etnik sangat menentukan karakter etnik masing-masing; (b) menjelaskan faktor penyebab konflik antar etnik; (c) melakukan interpretasi terhadap konflik etnik dengan melihat sebab-sebabnya; (d) mengelaborasi nasionalisme etnik dan peranannya dalam eskalasi konflik sosial; dan (e) menggambarkan situasi khusus yang terjadi dalam kondisi kekinian dan meprediksi kondisi keakanan; Ketiga, melakukan pendidikan komunikasi lintas budaya. Diantara strategi pendidikan komunikasi lintas budaya adalah memberlakukan pendidikan multikultural yang terintegrasi pada setiap mata pelajaran di setiap satuan pendidikan. Inti pendidikan multikultural adalah, demokratisasi, humanisasi dan pluralis (Sutrisno, L. 2003; Suryadinata, L., dkk. 2003).





5. Masalah Kriminalitas
Kriminalitas atau tindakan kriminal merupakan problem sosial yang bersifat laten (selalu ada dalam kehidupan masyarakat atau negara manapun), namun tindakan kriminal bukanlah penyimpangan perilaku yang dibawa sejak lahir, tetapi tindakan kriminal merupakan hasil dari sosialisasi sub budaya menyimpang. Tindakan kriminal sering dikategorikan sebagai tindak pidana atau tindakan yang melanggar hukum pidana. Diantara contoh tindakan kriminal adalah: korupsi, pencurian, pembunuhan, perampokan, penipuan atau pemalsuan, penculikan, perkosaan, sindikat narkotik atau penyalahgunaan obat terlarang.
Hal-hal yang mendorong terjadinya perilaku menyimpang dalam bentuk tindakan kriminal antara lain: (1) terjadinya perubahan sosial, politik, ekonomi yang bersifat revolusi, misalnya terjadi peperangan; (2) terjadinya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat yang begitu besar, sebagai akibat kesalahan strategi atau perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan; (3) adanya peluang atau kesempatan untuk terjadinya tindakan kriminal, karena alat-alat penegak hukum tidak tegas atau tidak ada kepastian hukum di masyarakat; (4) pemerintah yang lemah (tidak bersih) dan aparat pemerintah yang korup, atau banyak muncul penjahat kerah putih (white collar crime) di setiap departemen pemerintah atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga ekonomi; (5) meningkatnya jumlah penduduk yang tidak terkendali, sehingga jumlah pengangguran dan urbanisasi meningkat; (6) kondisi kehidupan keluarga yang disintegratif; dan (7) berkembangnya sikap mental negatif, misalnya: hedonistis, konsumersitis, suka menempuh jalan pintas dalam meraih tujuan dan sejenisnya (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Soetomo, 1995).
Pendekatan atau metode yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal adalah: (a) metode preventif, yaitu cara pencegahan melalui pemberian informasi (penyuluhan), pendidikan, pelaksanaan program pembangunan yang benar; (b) metode represif, yaitu cara pencegahan melalui pemberian hukuman, penangkapan dan pemenjaraan sampai pada penembakan. Metode terbaik dalam menangani tindak kriminal adalah metode preventif (Wilis,S. 1994).

6. Masalah aksi protes, pergolakan daerah, dan pelanggaran HAM
Aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, merupakan masalah sosial yang cukup kompleks, dan menuntut adanya perhatian khusus dalam pemecahannya. Telebih kondisi sosial budaya masyarakat yang multikultural, seperti di Indonesia. Hampir setiap hari terjadi aksi protes dan demonstrasi di daerah-daerah. Hal ini tentu dapat mengganggu proses perubahan atau pembangunan masyarakat.
Diantara sebab terjadinya aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, antara lain: (1) terjadinya dominasi mayoritas kepada minoritas disertai dengan tindakan sewenang-wenang dalam berbagai aspek kehidupan; atau adanya pemaksaan kehendak antar kelompok di masyarakat; (2) terjadinya kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat yang sangat tinggi; (3) terjadinya perebutan antar kelompok di masyarakat tentang sumber-sumber mata pencaharian hidup; (4) adanya pemaksaan ideologi kelompok satu kepada kelompok lainnya (berkembangnya sikap eksklusifisme/ primordialisme); dan (5) adanya tradisi masa lalu sebagai warisan sejarah tentang konflik antar kelompok atau antar ethnik.
Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia, untuk meminimalkan terjadinya aksi protes, demonstrasi, tindak kriminal, dan pelanggaran HAM, antara lain: (1) merumuskan pokok-pokok kebijakan pembangunan masyarakat, antara lain: (a) pembangunan harus memihak rakyat, dinamis-berkelanjutan, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasikan; (b) pembangunan harus memanfaatkan secara baik sumber daya masyarakat dan meningkatan partisipasi peran masyarakatnya; (2) memprioritaskan pembangunan SDM, yaitu membangun ketaatan pada prinsip-prinsip moral (hukum) dan agama; sikap kesetiakawanan sosial; kreativitas;
produktivitas; pengembangan rasionalitas; dan kemampuan menegakkan kemandirian untuk berkarya; (3) program yang disusun di sektor pembangunan masyarakat, betul-betul memperhatikan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, dengan memperhatikan skala prioritas dan kondisi lingkungan fisik serta sosio-budaya masyarakatnya; (4) proses pembangunan sosial, ekonomi dan politik masyarakat, harus lebih meningkatkan kearah otonomi daerah dan otonomi masyarakat yang lebih berkualitas; (5) proses pelaksanaan pembangunan masyarakat hendaknya dilakukan secara demokratis, transparansi dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan; dan (6) karena basis ekonomi masyarakat Indonesia adalah pertanian, maka program pembangunan harus berbasis pada pembangunan teknologi pertanian di pedesaan (Usman, S., 1998; Dwipayana, Ari (Ed). 2003; Tjokrowinoto, 2004)

INTERAKSI SOSIAL

1. Pengertian interaksi sosial
Interaksi sosial adalah ‘hubungan timbal balik antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok dalam proses-proses sosial di masyarakat’. Hubungan timbal balik tersebut disertai dengan adanya kontak sosial dan komunikasi. Oleh karena itu syarat utama terjadinya interaksi sosial adalah: (a) adanya kontak sosial antar kedua belah pihak; dan (b) adanya komunikasi sosial antara kedua belah pihak.
Sedangkan pengertian proses sosial adalah ‘proses interaksi antar aspek atau unsur sosial disepanjang aktivitas kehidupan manusia di masyarakat’. Wujud dari aktivitas proses sosial adalah kegiatan-kegiatan sosial individu dan kelompok dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidupnya. Diantara konsep dasar dalam kajian tetang proses sosial adalah ‘interaksi sosial’. Oleh karena itu menurut para ahli, inti atau dasar dari proses-proses sosial di masyarakat adalah ‘interaksi sosial’ (Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969; Soekanto, S, 2002). Proses-proses sosial dalam kehidupan di masyarakat bersifat dinamik, dan mendasarkan pada nilai, norma yang berlaku di masyarakat.

2. Fungsi interaksi sosial
Proses interaksi sosial yang bertentuk kerjasama atau kooperatif (asosiatif) mempunyai fungsi positif antara lain: (a) proses pencapaian tujuan hidup individu atau kelompok lebih mudah terwujud; (b) mendorong terwujudnya pola kehidupan individu atau kelompok secara integratif; (c) setiap individu dapat meningkatkan kualitas beragam peran sosial dalam kehidupan kelompok; (d) mendorong terbangunnya sikap mental positif pada setiap individu dalam proses-proses sosialnya; dan (e) mendorong lahirnya beragam inovasi di berbagai bidang menuju masyarakt madani (masyarakat beradab).
Dalam batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk persaingan atau kompetisi (dissosiatif) mempunyai fungsi positif, antara lain: (a) menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif; (b) sebagai media tersalurkannya keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian secara baik oleh mereka yang bersaing; (c) merupakan alat untuk menempatkan individu pada status dan peran yang sesuai dengan kemampua/ keahliannya; dan (d) sebagai alat menjaring para individu atau kelompok yang akhirnya menghasilkan pembagian kerja yang efektif.
Demikian juga, dalam batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk konflik (dissosiatif) mempunyai fungsi positif, yaitu: (a) dapat mendorong terjadinya perubahan pola perilaku seseorang atau kelompok ke arah yang lebih baik; (b) dapat mendorong terjadinya atau terbangunnya solidaritas ingroup dalam kehidupan kelompok; dan (c) dapat mendorong lahirnya karya demi karya yang lebih inovatif atau lebih maju (Wilson, E.K. 1966; Mack, R. and Pease, J. 1973).

3. Tujuan interaksi sosial
Interaksi sosial merupakan faktor paling kunci dalam proses-proses sosial. Diantara tujuan seseorang melakukan interaksi sosial antara lain: (a) untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan tertentu, baik yang bersifat individu atau kelompok; (b) untuk proses pemenuhan aneka kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial atau pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik; (c) untuk meningkatkan kualitas kompetensi diri dalam berbagai aspek kehidupan sosial di masyarakat; (d) untuk membangun solidaritas ingroup atau outgroup dalam kehidupan sosial di masyarakat; dan (e) dalam rangka mendapat masukan atau media evaluai diri atau refleksi diri tentag pola perilaku yang telah di lakukan dalam proses-proses sosial (Horton, P. and Hunt, C.L. 1984; Sunarto, K. 2000).
Dalam rangka mewujudkan tujuan interaksi sosial tersebut, maka setiap individu selama proses interaksi sosial harus berdasarkan kepada nilai, norma sosial yang berlaku dalam kelompoknya atau masyarakatnya. Nilai adalah ‘sesuatu yang diangungkan, dianggap baik, dan dijadikan sebagai pedoman berperiku’. Menurut Notonegoro ada tiga macam nilai, yaitu (1) nilai material (segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia); dan (2) nilai vital (segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas hidup); dan (3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian terdiri atas empat macam, yaitu: (a) Nilai kebenaran (kenyataan), yaitu nilai yang bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi, dan cipta); (b) Nilai keindahan, yaitu nilai yang bersumber pada unsur perasaan manusia (estetika); (c) Nilai moral (kebaikan), yaitu nilai yang bersumber pada unsur, kehendak, atau kemauan (karsa dan etika); dan (d) Nilai religius, yaitu nilai ketuhanan yang tertinggi, mutlak, dan abadi.Sedangkan norma adalah ‘seperangkat aturan (tertulis dan
tidak tertulis), yang mengatur pola kehidupan dan interaksi seseorang dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidup’.

Fungsi nilai dan norma bagi kehidupan bermasyarakat adalah: (1) menetapkan harga sosial seseorang dalam kelompok. Dengan nilai dapat menunjukkan seseorang berada pada pelapisan sosial tertentu di masyarakat; (2) membentuk cara berpikir dan berperilaku secara ideal dalam masyarakat; (3) nilai-norma dapat menjadi faktor penentu yang terakhir bagi manusia dalam menjalankan peranan sosial; (4) nilai-norma sebagai alat pengawas dan pengontrol serta daya ikat tertentu agar seseorang berbuat baik bagi kehidupan; (5) nilai-norma sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama; dan (6) nilai-norma menjadi abstraksi (gambaran) pola perilaku masyarakat (Rose, A. M.1965).

B. Syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Ada dua syarat utama terjadinya interaksi sosial, yaitu: (1) adanya kontak sosial. Makna harfiah kontak sosial adalah ‘bersama-sama menyentuh’. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi sentuhan badaniah. Berdasarkan subjek pelakunya kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu: (a) kontak antara orang perorangan; (b) kontak ntara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya; dan (c) kontak antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya; dan (2) adanya komunikasi (communication), berasal dari bahasa Inggris ‘common’, artinya sama. Apabila kita berkomunikasi, berarti kita berusaha untuk menimbulkan sesuatu persamaan (commonnes) dalam hal pemahaman, penafsiran dan sikap dengan seseorang tentang sesuatu. Misalnya, kita bersama-sama mempelajari suatu ide atau cita-cita dengan seseorang. Ini berarti, bahwa kita mengemukakan sesuatu sikap (attitude) yang sama kepada seseorang yang kita ajak berkomunikasi tadi (Pola. J.B.A.F.Major. 1991; Soekanto S., 2002).

C. Faktor-Faktor Yang Mendasari Proses Interaksi Sosial
Faktor penting yang menjadi dasar proses berlangsungnya interaksi sosial adalah: (1) nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Apabila individu atau kelompok dalam proses interaksi sosialnya tidak mendasarkan pada nilai, norma yang berlaku, kehidupan sosial akan terjadi disintegrasi atau ketidakteraturan sosial; dan (2) status dan peranan sosial. Proses interaksi sosial yang dilakukan individu harus memperhatikan status dan peranan yang melekat pada dirinya, juga memperhatikan kewajiban dan hak-haknya.
Menurut para ahli, berlangsungnya proses interaksi sosial dipengaruhi oleh beberapa, antara lain: (1) faktor imitasi; (2) faktor sugesti; (3) faktor simpati; (4) faktor identifikasi; (5) faktor empati; dan (6) faktor motivasi. Keenam faktor tersebut selama proses interaksi sosial bisa terjadi secara sendiri (terpisah) dan juga bisa secara bersama-sama atau integratif.
Pertama, simpati, yaitu suatu proses psikhis di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan (aspek psikhis atau kejiwaaan) seseorang memegang peranan yang penting. Dorongan utamanya adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama atau mengikuti untuk melakukan suatu tindakan tertentu; Kedua, sugesti, yaitu dorongan untuk mengikuti atau menerima sikap orang lain tanpa proses pemikiran yang dalam untuk melakukan sesuatu tidakan. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi, karena pihak yang menerima sedang mengalami ketidakstabilan pikiran yang dapat menghambat daya berpikir rasional dan akal sehat. Sugesti ini bisa juga sebagai kelanjuan lebih mendalam dari simpati.
Ketiga, imitasi, yaitu dorongan untuk meniru pola aktifitas orang lain. Faktor ini mempunyai peran penting dalam proses interaksi sosial. Segi positifnya adalah imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai yang berlaku. Namun, imitasi dapat pula mengakibatkan hal yang negatif misalnya, meniru tindakan yang menyimpang. Selain itu imitasi juga dapat melemahkan atau mematikan pengembangan daya kreatifitas seseorang; Keempat, identifikasi, yaitu merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadikan sama (identik atau serupa) atau meniru untuk berperan atau bersikap sama dengan pihak lain. Identifikasi ini Iebih mendalam daripada imitasi, karena pola sikap seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
Kelima, empati,yaitu mirip perasaan simpati, akan tetapi tidak semata-mata perasaan kejiwaan saja, melainkan diikuti dengan tindakan nyata secara positif. Empati dibarengi perasaan organisme tubuh yang sangat dalam. Contohnya kalau kita melihat sahabat dekat atau kerabat dekat mengalami kecelakaan, maka perasaan empati menempatkan kita seolah-olah ikut celaka, dan kita langsung melakukan tindakan nyata untuk menolongnya; Keenam, motivasi, yaitu dorongan, rangsangan, pengaruh atau stimulus yang diberikan seorang individu lainnya sedemikian rupa, sehingga orang yang diberi motivasi tersebut menuruti atau melaksanakan apa yang dimotivasikan secara kritis, rasional, dan penuh tanggung jawab (Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969; Soekanto, S, 2002).

D.Tahap –Tahap Keteraturan Sosial Dalam Interaksi Sosial
Antara interaksi sosial dan keteratuan sosial mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan yang erat tersebut dapat dipahami dari asumsi sebagai berikut: (1) dalam interaksi sosial selalu terdapat kontak dan komunikasi, tujuan kontak dan komunikasi adalah

untuk mewujudkan keteraturan sosial (ketertiban hidup); (2) keteraturan sosial (ketertiban hidup) akan terwujud apabila proses interaksi berdasarkan pada nilai dan norma sosial yang berlaku; (3) nilai, norma sosial adalah sebagai alat kontrol sosial (pengendalian sosial) terhadap perilaku individu-kelompok untuk terujudnya keteraturan sosial. Jadi, keteraturan sosial itu mempunyai hubungan yang selaras dan serasi antara interaksi sosial, nilai sosial dan norma sosial.
Ditinjau dari segi prosesnya, terbentuknya keteraturan sosial dapat melalui empat tahap, yaitu: (1) tahap tertib sosial (social order), yaitu kondisi kehidupan kelompok yang aman, dinamis teratur, yang ditandai dengan masing-masing anggota kelompok menjalankan kewajiban dan memperoleh haknya dengan baik sesuai dengan status dan peranannya; (2) tahap order, yaitu mengakui dan mematuhi sistem nilai, norma yang berkembang dalam kelompok; (3) tahap keajegan, yaitu suatu kondisi keteraturan perilaku yang tetap (ajeg), terus menerus atau konsisten dalam kehidupan sehari-hari; dan (4) tahap berpola, yaitu corak hubungan (interaksi) yang konsisten, ajeg tersebut dijadikan sebagai model (dilembagakan) bagi semua anggota untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari dalam kelompok. Ketika proses interaksi sosial sudah memasuki tahap berpola, maka proses-proses sosial di masyarakat akan tercipta keteraturan sosial (Rose, A. M. 1965; Wilson, E.K. 1966).

E. Proses Sosial Asosiattif dan Disosiatif
Sosiolog Gillin and Gillin menyebutkan ada dua proses sosial yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu: (1) proses asosiatif atau bersekutu (processes of association); dan (2) proses disosiatif atau memisahkan (processes of dissociation). Proses asosiatif sering mengarah ke pola integrasi sosial, sedangkan proses disosiatif cenderung mengarah ke disintegrasi atau sering disebut proses oposisi (berjuang melawan pihak lain untuk mencapai tujuan) (Rose, A. M. 1965; Green, A. W. 1972).
Pertama, proses asosiatif. Proses sosial asosiatif mempunyai empat bentuk, yaitu: (1) kerjasama (cooperation), yaitu jalinan hubungan timbal balik yang didasarkan atas kesamaan tujuan, kepentingan, dan orientasi hidup. Berdasarkan pelaksanaannya, interaksi sosial dalam bentuk kerjasama dibedakan menjadi lima macam, yaitu: (a) kerukunan atau gotong royong; (b) bargaining, yaitu perjanjian kerjasama tentang pertukaran barang dan jasa; (c) kooptasi, yaitu kerjasama untuk saling menerima unsur-unsur baru dalam pelaksanaan politik organisasi agar tidak terjadi konflik organisasi; (d) koalisi, yaitu kerjasama antara dua atau lebih organisasi yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama; (e) join-venture, yaitu kerjasama dalam pengadaan proyek tertentu yang berbasis ekonomi; (2) akomodasi (accomodation). Dalam proses sosial, akomodasi punya makna dua, yaitu: (a) sebagai keadaan, yang berarti akomodasi adalah suatu keseimbangan interaksi antar individu/ kelompok berdasarkan nilai dan norma kelompok; (b) sebagi proses, yang berarti akomodasi bermakna usaha manusia untuk meredakan dua pihak yang sedang konflik. Akomodasi sebagai proses, mempunyai beberapa bentuk, yaitu: (a) koersi, yaitu akomodasi yang prosesnya melalui pemaksaan; (b) kompromi, yaitu akomodasi yang ditandai oleh masing-masing pihak mengurangi tuntutannya agar ada penyelesaian; (c) arbitrasi, yaitu akomodasi yang menggunakan pihak ketiga, dan pihak ketiga ditentukan oleh badan yang berwenang; (d) mediasi, yaitu mirip dengan arbitrasi, hanya pihak ketiganya netral; (e) konsiliasi, yaitu akomodasi yang menggunakan cara mempertemukan keinginan yang bertikai untuk dibuat kesepakatan; (f) toleransi, akomodasi yang didasarkan atas sikap saling memaklumi; (g) stalemit, yaitu masing-masing pihak mempunyai kekuatan yang seimbang; (h) ajudifikasi, yaitu akomodasi melalui proses pengadilan, dsb. (3) akulturasi, yaitu proses pembauran dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan budaya baru, tetapi tidak menghilangkan unsur aslinya; (4) asimilasi, yaitu proses pembauran dua unsur budaya sehingga menghasilkan budaya baru, yang unsur budaya aslinya mulai hilang.
Kedua, proses disosiatif. Proses sosial disosiatif mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1) persaingan (competition), yaitu perjuang individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu, tanpa merugikan pihak lain. Ada dua tipe persaingan, yaitu persaingan individu dn persaingan kelompok; (2) kontravensi (contravention), yaitu suatu bentuk proses sosial antara persaingan dengan konflik. Cirinya adalah: (a) masing-masing mersa saling tidak puas; (b) masing-masing pihak saling memendam perasaan kecewa, ragu dan benci. Istilah sehari-hari tentang kontravensi adalah ‘perang dingin’; (3) konflik, yaitu suatu perjuangan individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dengan jalan menentang atau menyakiti atau
merugikan pihak lain. Macam-macam konflik antara lain konflik, agama, ras, suku, politik, ekonomi, antar kelas, konflik internasional dan sebagainya (Sunarto, K. 2000; Soekanto, S., 2002).
.

TEORI PERTUKARAN SOSIAL

Teori pertukaran sosial adalah teori dalam ilmu sosial yang menyatakan bahwa dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan yang saling mempengaruhi.[rujukan?] Teori ini menjelaskan bagaimana manusia memandang tentang hubungan kita dengan orang lain sesuai dengan anggapan diri manusia tersebut terhadap:
• Keseimbangan antara apa yang di berikan ke dalam hubungan dan apa yang dikeluarkan dari hubungan itu.
• Jenis hubungan yang dilakukan.
• Kesempatan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain.[rujukan?]
[sunting] Munculnya teori pertukaran sosial
Pada umumnya,hubungan sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan masyarakat lain di lihat mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi dalam hubungan tersebut,yang terdapat unsur ganjaran , pengorbanan dan keuntungan . Ganjaran merupakan segala hal yang diperolehi melalui adanya pengorbanan,manakala pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah ganjaran dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antara dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan,dan persahabatan.
Analogi dari hal tersebut, pada suatu ketika anda merasa bahwa setiap teman anda yang di satu kelas selalu berusaha memperoleh sesuatu dari anda. Pada saat tersebut anda selalu memberikan apa yang teman anda butuhkan dari anda, akan tetapi hal sebaliknya justru terjadi ketika anda membutuhkan sesuatu dari teman anda. Setiap individu menjalin pertemanan tentunya mempunyai tujuan untuk saling memperhatikan satu sama lain. Individu tersebut pasti diharapkan untuk berbuat sesuatu bagi sesamanya, saling membantu jikalau dibutuhkan, dan saling memberikan dukungan dikala sedih. Akan tetapi mempertahankan hubungan persahabatan itu juga membutuhkan biaya (cost) tertentu, seperti hilang waktu dan energi serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak jadi dilaksanakan. Meskipun biaya-biaya ini tidak dilihat sebagai sesuatu hal yang mahal atau membebani ketika dipandang dari sudut penghargaan (reward) yang didapatkan dari persahabatan tersebut. namun, biaya tersebut harus dipertimbangkan apabila kita menganalisa secara obyektif hubungan-hubungan transaksi yang ada dalam persahabatan. Apabila biaya yang dikeluarkan terlihat tidak sesuai dengan imbalannya, yang terjadi justru perasaan tidak enak di pihak yang merasa bahwa imbalan yang diterima itu terlalu rendah dibandingkan dengan biaya atau pengorbanan yang sudah diberikan.
Analisa mengenai hubungan sosial yang terjadi menurut cost and reward ini merupakan salah satu ciri khas teori pertukaran. Teori pertukaran ini memusatkan perhatiannya pada tingkat analisa mikro, khususnya pada tingkat kenyataan sosial antarpribadi (interpersonal). Pada pembahasan ini akan ditekankan pada pemikiran teori pertukaran oleh Homans dan Blau. Homans dalam analisanya berpegang pada keharusan menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan perilaku sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Akan tetapi Blau di lain pihak berusaha beranjak dari tingkat pertukaran antarpribadi di tingkat mikro, ke tingkat yang lebih makro yaitu struktur sosial. Ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana struktur sosial yang lebih besar itu muncul dari proses-proses pertukaran dasar.
Berbeda dengan analisa yang diungkapkan oleh teori interaksi simbolik, teori pertukaran ini terutama melihat perilaku nyata, bukan proses-proses yang bersifat subyektif semata. Hal ini juga dianut oleh Homans dan Blau yang tidak memusatkan perhatiannya pada tingkat kesadaran subyektif atau hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat dinamis antara tingkat subyektif dan interaksi nyata seperti yang diterjadi pada interaksionisme simbolik. Homans lebih jauh berpendapat bahwa penjelasan ilmiah harus dipusatkan pada perilaku nyata yang dapat diamati dan diukur secara empirik.[1] Proses pertukaran sosial ini juga telah diungkapkan oleh para ahli sosial klasik. Seperti yang diungkapkan dalam teori ekonomi klasik abad ke-18 dan 19, para ahli ekonomi seperti Adam Smith sudah menganalisa pasar ekonomi sebagai hasil dari kumpulan yang menyeluruh dari sejumlah transaksi ekonomi individual yang tidak dapat dilihat besarnya. Ia mengasumsikan bahwa transaksi-transaksi pertukuran akan terjadi hanya apabila kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dari pertukaran tersebut, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dapat dengan baik sekali dijamin apabila individu-individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan pribadinya melalui pertukaran-pertukaran yang dinegosiasikan secara pribadi.
[sunting] Pertentangan teori pertukaran sosial individualistis dan kolektivistis
Pertentangan yang terjadi ini merupakan akibat dari tumbuhnya pertentangan antara orientasi individualistis dan kolektisvistis. Homans mungkin merupakan seseorang yang sangat menekankan pada pendekatan individualistis terhadap perkembangan teori sosial. Hal ini tentunya berbeda dengan penjelasan Levi-Strauss yang bersifat kolektivistis khususnya mengenai perkawinan dan pola-pola kekerabatan.
Levi-Strauss merupakan seorang ahli antropologi yang berasal dari Prancis, ia mengembangkan suatu perspektif teoritis mengenai pertukaran sosial dalam analisannya mengenai praktek perkawinan dan sistem kekerabatan masyarakat-masyarakat primitif.[2] Suatu pola umum yang dianalisanya adalah seorang pria mengawini putri saudara ibunya. Suatu pola yang jarang terjadi adalah orang mengawini putri saudara bapaknya.[3] Pola yang terakhir ini dianalisa lebih lanjut oleh lanjut oleh Bronislaw Malinowski dengan pertukaran nonmaterial.[4]
Dalam menjelaskan hal ini Levi-Strauss membedakan dua sistem pertukaran yaitu restricted exchange dan generalized exchange. Pada restricted exchange, para anggota kelompok dyad terlibat dalam transaksi pertukaran langsung, masing-masing anggota pasangan tersebut saling memberikan dengan dasar pribadi. Sedangkan pada generalized exchange, anggota-anggota suatu kelompok triad atau yang lebih besar lagi, menerima sesuatu dari seorang pasangan lain dari orang yang dia berikan sesuatu yang berguna.[5] Dalam pertukaran ini memberikan dampak pada integrasi dan solidaritas kelompok-kelompok yang lebih besar dengan cara yang lebih efektif. Tujuan utama proses pertukaran ini adalah tidak untuk memungkinkan pasangan-pasangan yang terlibat dalam pertukaran itu untuk memenuhi kebutuhan individualistisnya. Akan tetapi untuk mengungkapkan komitmen moral individu tersebut kepada kelompok. Analisa mengenai perkawinan dan perilaku kekerabatan ini merupakan sebuah kritikan terhadap penjelasan Sir James Frazer seorang ahli Antropologi Inggris yang bersifat ekonomis mengenai pola-pola pertukaran yang terjadi antara pasangan perkawinan dalam masyrakat primitif.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_pertukaran_sosial

WISATA KEMISKINAN

Apa yang anda bayangkan mendengar kata 'Wisata' ? mungkin pikiran anda langsung tertuju pada tempat2 wisata seperti Bali, Jogja, Dufan, Puncak, atau bahkan jenis2 wisata bahari, agrowisata, wisata arung jeram, panjat tebing, dan lain sebagainya. Slogan Visit Indonesian Year yang didengangdengungkan kementrian Pariwisata beberapa tahun ini mungkin bisa jadi salah satu icon bangkitnya dunia pariwisata di Indonesia. Namun pernahkah terlintas dalam benak anda mengenai daerah kumuh, gubuk2 dibawah jembatan layang atau di pinggir2 sungai??

Yup mungkin aneh dan sangat jauh dari definisi wisata yang selama ini ada dibenak kita semua, namun begitulah adanya sebuah konsep wisata yang ditawarkan sebuah agen wisata di Jakarta Timur sejak Januari 2008, para wisatawan(kebanyakan wisatawan import) diajak berkeliling dan masuk ke daerah2 kumuh dipandu seorang guide yang memandu dan menjelaskan kepada wisatawan mengenai obyek wisatanya, konsep yang terasa begitu kontraproduktif dengan pemikiran kita, pun tak hanya kita, konsep ini memicu sikap kontradiksi pada kalangan pengusaha pariwisata, anggota DPRD sampai pejabat2 kementrian kita.

Hampir semua pihak yang kontra ini menyayangkan eksploitasi kemiskinan untuk dijadikan lahan meraup keuntungan para pengelola jasa tersebut, apalagi kemiskinan sendiri adalah musuh kita bersama sebagai sebuah bangsa, dan ini jelas mempermalukan bangsa kita (terlebih2 para penguasa negeri ini) karena menjadi satu2nya tujuan Wisata Kemiskinan di dunia.

Namun salahkah ide yang dilempar ke dunia pariwisata ini?? bagi saya ya, tapi setidaknya ide ini bukanlah ide sampah yang lantas harus ditutup rapat2 dan kembali menjadi rahasia kita sebagai bangsa, saya melihatnya sebagai sebuah inovasi dari kejenuhan pengelola wisata yang makin kompetitif dan obyek2 wisata yang ada memang "kurang terpelihara" oleh pemerintah kita.

Justru menurut saya ini adalah ide yang harus kita dukung meski konsep penyajian wisatanya diubah, kenapa saya meyebut demikian? karena diakui atau tidak kemiskinan adalah bagian dari diri kita, jangan menjustifikasi ide ini mempermalukan kita sebagai sebuah bangsa, tapi lihatlah peluang peluang yang ada dari ide ini.

Pemerintah kita, parpol2 kita yang sesumbar di masa kampanye terbukti gagal mengentaskan rakyat dari kemiskinan, mungkin mereka akan membantahnya dengan angka2 statistik, tapi ini dunia nyata bung, kemiskinan tidak akan dihapus oleh angka2 statistik, namun kita berpijak pada kondisi realitas yang ada. Berapapun anggaran pemerintah untuk BLT dan pemberdayaan kaum miskin memiliki tingkat efektifitas yang kecil dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Justru dengan adanya ide Wisata Kemiskinan ini kita bisa menemukan banyak manfaat daripada mempermasalahkan rasa malu kita sebagai bangsa, beberapa hal yang saya tangkap dari ide ini adalah

1. Menggugah rasa malu penguasa, benar atau tidak ide ini tetaplah berawal dari sindiran betapa tidak mampunya pemerintah kita mengentaskan kemiskinan, sehingga perlu diberikan semacam teguran pada mereka, karena merekalah yang mengemis2 suara rakyat kecil waktu kampanye.

2. Membantu program pemerintah mengentaskan kemiskinan, ide ini memang mengeksploitasi kemiskinan namun bukan berarti kita tidak bisa memanfaatkannya untuk mengentaskan kemiskinan, pemerintah bisa mendapat devisa dari wisata ini, pengelola jasa bisa mendapat tambahan pemasukan, warga2 pemukiman yang menjadi obyek wisata juga bisa dilibatkan dalam Wisata ini dimana mereka bisa menjadi guide/bahkan menjadikan rumah mereka semacam homestay ala kadarnya bagi wisatawan (saya tertarik pada ide Bedah Rumah yang menitipkan artis di rumah kumuh yang akan dibedah)

3. Menarik investor, tentu saja investor disini adalah para wisatawan itu sendiri, tentu sebagai wisatawan mereka akan mengeluarkan uang ketika berwisata, begitupun di pemukiman kumuh, mereka bisa melakukan transaksi2 ekonomi, bukan tidak mungkin botol2 aqua yang dikumpulkan pemulung justru bisa bernilai mahal dan dijadikan semacam kenang2an oleh wisatawan daripada dikumpulkan di pengepul dengan harga yang tidak manusiawi?

Tapi terlepas dari 3 hal tersebut memang ini adalah sebuah permasalahan yang sangat sensitif, jika memang nanti wisata ini memang diperbolehkan setidaknya memang apa yang dilakukan Ronny Paluan dengan Biro Jasa Pariwisatanya harus diawasi lebih ketat, karena hal semacam ini setidaknya harus melibatkan 3 unsur yaitu pemerintah, pengusaha dan warga2 itu sendiri. Dan perlu juga diberikan batasan2 yang ketat baik mengenai apa2 yang boleh dan tidak boleh, areal wisata, deadline pencapaian perubahan kesejahteraan bagi pemukim yang harus dicapai bersama 3 unsur ini dalam jangka waktu tertentu (Misal dalam jangka waktu 5 tahun dari pencanangan daerah wisata kemiskinan, daerah itu sudah harus ditutup untuk wisata sejenis dan warga disana sudah memiliki tingkat kesejahteraan tertentu; entah diukur dari terpenuhinya kebutuhan primer, sekunder/tersier)

PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL

Pengelompokkan teori perubahan sosial telah dilakukan oleh Strasser dan Randall. Perubahan sosial dapat dilihat dari empat teori, yaitu teori kemunculan diktator dan demokrasi, teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai subsistem sosial.

Perspektif Penjelasan Tentang Perubahan

Barrington Moore, teori kemunculan diktator dan demokrasi

Teori ini didasarkan pada pengamatan panjang tentang sejarah pada beberapa negara yang telah mengalami transformasi dari basis ekonomi agraria menuju basis ekonomi industri.

Teori perilaku kolektif

Teori dilandasi pemikiran Moore namun lebih menekankan pada proses perubahan daripada sumber perubahan sosial.

Teori inkonsistensi status

Teori ini merupakan representasi dari teori psikologi sosial. Pada teori ini, individu dipandang sebagai suatu bentuk ketidakkonsistenan antara status individu dan grop dengan aktivitas atau sikap yang didasarkan pada perubahan.

Analisis organisasi sebagai subsistem sosial

Alasan kemunculan teori ini adalah anggapan bahwa organisasi terutama birokrasi dan organisasi tingkat lanjut yang kompleks dipandang sebagai hasil transformasi sosial yang muncul pada masyarakat modern. Pada sisi lain, organisasi meningkatkan hambatan antara sistem sosial dan sistem interaksi.

Teori Barrington Moore

Teori yang disampaikan oleh Barrington Moore berusaha menjelaskan pentingnya faktor struktural dibalik sejarah perubahan yang terjadi pada negara-negara maju. Negara-negara maju yang dianalisis oleh Moore adalah negara yang telah berhasil melakukan transformasi dari negara berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis besar proses transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi, fasisme dan komunisme.

Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas dan kaum tuan tanah. Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok pendukung saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala penhancuran kelompok masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil. Negara yang mengambil jalan demokrasi dalam proses transformasinya adalah Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.

Berbeda halnya demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas ini yang memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan. Negara yang memilih jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh kelompok borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan mudah dikalahkan. Jepang dan Jerman merupakan contoh dari negara yang mengambil jalan fasisme.

Komunisme lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis. Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan komunisme dalam proses transformasinya adalah Cina dan Rusia.

Teori Perilaku Kolektif

Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar individu seperti peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.

Perubahan pola hubungan antar individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang mengakibatkan adanya perubahan melalui aksi sosial bersama untuk merubah norma dan nilai.

Teori Inkonsistensi Status

Stratifikasi sosial pada masyarakat pra-industrial belum terlalu terlihat dengan jelas dibandingkan pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya derajat perbedaan yang timbul oleh adanya pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status sosial masih terbatas pada bentuk ascribed status, yaitu suatu bentuk status yang diperoleh sejak dia lahir. Mobilitas sosial sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Krisis status mulai muncul seiring perubahan moda produksi agraris menuju moda produksi kapitalis yang ditandai dengan pembagian kerja dan kemunculan organisasi kompleks.

Perubahan moda produksi menimbulkan maslaah yang pelik berupa kemunculan status-status sosial yang baru dengan segala keterbukaan dalam stratifikasinya. Pembangunan ekonomi seiring perkembangan kapitalis membuat adanya pembagian status berdasarkan pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan inkonsistensi status pada individu.

Penulis Bahan Kajian Proses Perubahan Konsep Penyebab Perubahan

Sosrodihardjo

Masyarakat Jawa

Kemunculan kelas pemasaran yang menimbulkan perubahan pada struktur sosial masyarakat.

Stratifikasi sosial (status sosial), pola konsumsi.

Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme yang ditandai adanya komersialisasi pertanian.

Sarman

Komunitas petani plasma PIR Karet Danau Salak Kalsel

Perubahan pola konsumsi pada masyarakat serta fenomena “pembangkangan” oleh petani. Selain itu muncul kelas sosial baru yaitu pedagang tengkulak.

Stratifikasi sosial (status sosial), hubungan kerja, gaya hidup, pola konsumsi.

Moda produksi (materialis), peningkatan pendapatan, permasalahan ekonomi perusahaan inti.

Wertheim

Kawasan asia selatan dan tenggara

Masuknya kapitalisme di asia menyebabkan polarisasi pada struktur sosial masyarakat. Kemunculan kelas borjuis membawa dampak pada semakin sengitnya kompetisi dan konflik dengan borjuis asing.

Stratifikasi sosial (status sosial), gerakan sosial

Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme yang ditandai adanya komersialisasi pertanian.

Kuntowijoyo

Masyarakat agraris Madura

Terjadinya segmentasi pada masyarakat Madura yang dapat dipandang sebagai perubahan pola stratifikasi sosial yang ada di masyarakat. Kemunculan kelompok strategis sebagai bentuk usaha untuk mempertahankan status sosial yang ada.

Stratifikasi sosial (status sosial), gerakan sosial.

Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme

PERUBAHAN SOSIAL DAN STRUKTUR SOSIAL

Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.

Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.

Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).

Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.

Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).

Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).

Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.

Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.

Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat.

Bahan Bacaan

Beteille, A. 1970. Social Inequality. Penguin Education. California.

Douglas, J.D. 1981. Introduction to Sociology ; Situations and Structures. The Free Press. New York.

Kornblum, W. 1988. Sociology in Changing World. Holt, Rinchart and Winston. New York.

Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura. Mata Bangsa. Jogjakarta.

Linton, R. 1967. “Status and Role” dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg. Sociological Theory ; A Book of Reading. The Macmillan. New York.

Merton, Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. The Free Press. New York.

Sarman, M. 1994. Perubahan Status Sosial dan Moral Ekonomi Petani. Prisma No. 7.

Sosrodihardjo, S. 1972. Perubahan Struktur Masyarakat di Djawa; Suatu Analisa. Karya. Jogjakarta.

Strasser, H. and S.C. Randall. 1981. An Introdustion to Theories of Social Change. London: Routledge & Kegan Paul.

Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Jogjakarta.