Apa yang anda bayangkan mendengar kata 'Wisata' ? mungkin pikiran anda langsung tertuju pada tempat2 wisata seperti Bali, Jogja, Dufan, Puncak, atau bahkan jenis2 wisata bahari, agrowisata, wisata arung jeram, panjat tebing, dan lain sebagainya. Slogan Visit Indonesian Year yang didengangdengungkan kementrian Pariwisata beberapa tahun ini mungkin bisa jadi salah satu icon bangkitnya dunia pariwisata di Indonesia. Namun pernahkah terlintas dalam benak anda mengenai daerah kumuh, gubuk2 dibawah jembatan layang atau di pinggir2 sungai??
Yup mungkin aneh dan sangat jauh dari definisi wisata yang selama ini ada dibenak kita semua, namun begitulah adanya sebuah konsep wisata yang ditawarkan sebuah agen wisata di Jakarta Timur sejak Januari 2008, para wisatawan(kebanyakan wisatawan import) diajak berkeliling dan masuk ke daerah2 kumuh dipandu seorang guide yang memandu dan menjelaskan kepada wisatawan mengenai obyek wisatanya, konsep yang terasa begitu kontraproduktif dengan pemikiran kita, pun tak hanya kita, konsep ini memicu sikap kontradiksi pada kalangan pengusaha pariwisata, anggota DPRD sampai pejabat2 kementrian kita.
Hampir semua pihak yang kontra ini menyayangkan eksploitasi kemiskinan untuk dijadikan lahan meraup keuntungan para pengelola jasa tersebut, apalagi kemiskinan sendiri adalah musuh kita bersama sebagai sebuah bangsa, dan ini jelas mempermalukan bangsa kita (terlebih2 para penguasa negeri ini) karena menjadi satu2nya tujuan Wisata Kemiskinan di dunia.
Namun salahkah ide yang dilempar ke dunia pariwisata ini?? bagi saya ya, tapi setidaknya ide ini bukanlah ide sampah yang lantas harus ditutup rapat2 dan kembali menjadi rahasia kita sebagai bangsa, saya melihatnya sebagai sebuah inovasi dari kejenuhan pengelola wisata yang makin kompetitif dan obyek2 wisata yang ada memang "kurang terpelihara" oleh pemerintah kita.
Justru menurut saya ini adalah ide yang harus kita dukung meski konsep penyajian wisatanya diubah, kenapa saya meyebut demikian? karena diakui atau tidak kemiskinan adalah bagian dari diri kita, jangan menjustifikasi ide ini mempermalukan kita sebagai sebuah bangsa, tapi lihatlah peluang peluang yang ada dari ide ini.
Pemerintah kita, parpol2 kita yang sesumbar di masa kampanye terbukti gagal mengentaskan rakyat dari kemiskinan, mungkin mereka akan membantahnya dengan angka2 statistik, tapi ini dunia nyata bung, kemiskinan tidak akan dihapus oleh angka2 statistik, namun kita berpijak pada kondisi realitas yang ada. Berapapun anggaran pemerintah untuk BLT dan pemberdayaan kaum miskin memiliki tingkat efektifitas yang kecil dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Justru dengan adanya ide Wisata Kemiskinan ini kita bisa menemukan banyak manfaat daripada mempermasalahkan rasa malu kita sebagai bangsa, beberapa hal yang saya tangkap dari ide ini adalah
1. Menggugah rasa malu penguasa, benar atau tidak ide ini tetaplah berawal dari sindiran betapa tidak mampunya pemerintah kita mengentaskan kemiskinan, sehingga perlu diberikan semacam teguran pada mereka, karena merekalah yang mengemis2 suara rakyat kecil waktu kampanye.
2. Membantu program pemerintah mengentaskan kemiskinan, ide ini memang mengeksploitasi kemiskinan namun bukan berarti kita tidak bisa memanfaatkannya untuk mengentaskan kemiskinan, pemerintah bisa mendapat devisa dari wisata ini, pengelola jasa bisa mendapat tambahan pemasukan, warga2 pemukiman yang menjadi obyek wisata juga bisa dilibatkan dalam Wisata ini dimana mereka bisa menjadi guide/bahkan menjadikan rumah mereka semacam homestay ala kadarnya bagi wisatawan (saya tertarik pada ide Bedah Rumah yang menitipkan artis di rumah kumuh yang akan dibedah)
3. Menarik investor, tentu saja investor disini adalah para wisatawan itu sendiri, tentu sebagai wisatawan mereka akan mengeluarkan uang ketika berwisata, begitupun di pemukiman kumuh, mereka bisa melakukan transaksi2 ekonomi, bukan tidak mungkin botol2 aqua yang dikumpulkan pemulung justru bisa bernilai mahal dan dijadikan semacam kenang2an oleh wisatawan daripada dikumpulkan di pengepul dengan harga yang tidak manusiawi?
Tapi terlepas dari 3 hal tersebut memang ini adalah sebuah permasalahan yang sangat sensitif, jika memang nanti wisata ini memang diperbolehkan setidaknya memang apa yang dilakukan Ronny Paluan dengan Biro Jasa Pariwisatanya harus diawasi lebih ketat, karena hal semacam ini setidaknya harus melibatkan 3 unsur yaitu pemerintah, pengusaha dan warga2 itu sendiri. Dan perlu juga diberikan batasan2 yang ketat baik mengenai apa2 yang boleh dan tidak boleh, areal wisata, deadline pencapaian perubahan kesejahteraan bagi pemukim yang harus dicapai bersama 3 unsur ini dalam jangka waktu tertentu (Misal dalam jangka waktu 5 tahun dari pencanangan daerah wisata kemiskinan, daerah itu sudah harus ditutup untuk wisata sejenis dan warga disana sudah memiliki tingkat kesejahteraan tertentu; entah diukur dari terpenuhinya kebutuhan primer, sekunder/tersier)
0 komentar:
Posting Komentar