RSS
Write some words about you and your blog here

Feminisme dan Pelecehan Seksual dalam Birokrasi Kekuasaan Pemerintahan

Feminisme sebagai suatu gerakan telah dipicu oleh perjuangan anti kekerasan yang berkembang
bersamaan dengan gerakan anti otoritarianisme dan anti akselerasi persenjat aan di barat sebagai akibat perang dingin. Gerakan ini kemudian dipadukan dengan aktivitas akademik yang
mengkritisi konsep-konsep dalam ilmu sosial konvensional -positivistik. Ketika muncul kesadaran akan adanya hubungan-hubungan asimetris berdasarkan jeni s kelamin, maka pemahaman studi perempuan dapat dilihat sebagai bidang kajian yang berfokus pada perempuan, dan historis.

Karenanya studi tentang perempuan dapat didefinisikan pertama, studi untuk memperoleh
pemahaman tentang perkembangan hubungan -hubungan asimetris berdasarkan jenis kelamin, ras, dan kelas dalam masyarakat. Kedua, studi untuk mencari strategi yang dapat merubah situasi hubungan asimetris kepada hubungan - hubungan yang lebih simetris.

Untuk mencapai target perubahan menuju yang lebih simet ris, studi perempuan membutuhkan
langkah sistematik dan konkrit dalam suatu gerakan ( movement). Ratna Saptari (1992: 7) mengemukakan tiga pendekatan dalam gerakan dan studi perempuan, yaitu pertama, feminisme
radikal sebagai aliran yang berpendapat bawah s truktur masyarakat dilandaskan pada hubungan hierarkis berdasarkan jenis kelamin, mengasumsikan bahwa laki -laki sebagai suatu kategori sosial mendominasi perempuan sebagai kategori sosial lain. Kondisi ini melahirkan suatu model konseptual yang menjelaskan berbagai bentuk penindasan. Dengan kata lain, jenis kelamin menjadi faktor yang menentukan: posisi sosial, pengalaman, kondisi fisik, psikologi, kepentingan, dan nilai-nilai seseorang, sehingga muncul slogan the personal is political, dengan fokus pada konsep utama Patriarki dan Seksualitas.

Kedua, feminisme liberal yang berpandangan bahwa laki -laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam mengembangkan kemampuannya. Siapapun hanya bisa intervensi dalam rangka menjamin terlaksananya hak yang azasinya. Ketiga , feminisme sosialis yang mengkaitkan dominasi laki-laki terhadap perempuan dengan proses kapitalisme. Berbagai bentuk patriarki dan pembagian kerja secara seksual tidak dapat lepas dari mode produksi dalam masyarakat (Denhardt & Denhardt, 2003).

Sebagaimana tercermin dari periode -periode awal revolusi industri dan kapitalisme yang membutuhkan tenaga kerja murah (baca: perempuan) bagi pekerjaan bertekonologi rendah. Metamorfosis kondisi ini terlestarikan hingga kini, dalam bentuk kebutuhan tenaga k erja laki-laki murah karena rendahnya lapangan kerja dan posisi tawar buruh, sehingga memunculkan tenaga kerja tidak dibayar dalam rumah tangga (baca: perempuan)

Pelecehan Seksual
Ada beberapa pasal dalam Kitab Undang -Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapa t menjerat seseorang pelaku pelecehan seksual; misalnya, pencabulan terdapat pada pasal 289 -296,
penghubungan pencabulan terdapat pada pasal 295 -8, dan pasal 506, serta persetubuhan dengan wanita di bawah umur terdapat pada pasal 286 -8 (Anonim, 2006). Dalam perkem-bangan gerakan dan studi feminisme, pe-lecehan seksual mengalami perluasan definisi menjadi pertidaksetujuan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sikap, kata -kata, dan tindakan pihak lain yang berlatar belakang seksual. Ketidak setujua n (without consent) menjadi ukuran ada tidaknya suatu pelecehan. Perkem-bangan studi dan gerakan feminisme menjadi tiga aliran kemudian ikut sert mewarnai peluasan kriteria pelecehan seksual itu sendiri.

Proses-proses yang melatarbelakangi maupun fenomena yang menjelaskan ke tiga pandangan tersebut diatas memperkuat asumsi dominasi jenis kelamin, intervensi pada kesamaan hak, maupun proses-proses kapitalisme telah mempunyai kontribusi pada mindset dan praktek pelecehan seksual. Pelecehan sebagai bentuk penghinaan yang merendahkan martabat setiap manusia, apa pun bentuknya, telah berkembang sedemikian jauh dan memiliki banyak varian. Oleh karenanya segala bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh oran g yang menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif; misalnya, rasa malu, marah, tersinggung dapat dikatakan merupakan suatu bentuk pelecehan seksual. Biasanya hal tersebut terjadi ketika seorang pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari pada k orban; misalnya, kekuasaan itu dapat berupa posisi pekerjaan yang lebih tinggi, kekuasaan ekonomi, “kekuasaan” jenis kelamin yang satu terhadap jenis kelamin yang lain, jumlah personal yang lebih banyak. Seringkali perempuan menjadi mahluk yang rentan dile cehkan secara fisik maupun mental.

Pelecehan Seksual dan Kekuasaan
Relasi jender dan seksual yang melahirkan pelecehan tidak terlepas dari hubungan kekuasaan di
antara pihak-pihak yang berelasi (Anonim, 200). Kecenderungan kekuasaan untuk menormalisasi relasi, dengan menganggap fenomena tertentu sebagai hal yang lumrah dan wajar telah mengakibatkan “diterimanya” sebuah relasi asimetri oleh pihak yang dikuasai menjadi sebuah kewajaran. Kewajaran semu ini terjadi di semua lini dan sektor, seperti ekonomi, ilmu
pengetahuan, dan seksual. Foucault mengatakan bahwa kekuasaan bukan suatu institusi, bukan struktur, dan bukan pula kekuatan yang dimiliki, tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat (Haryatmoko, 2002). Di dalamnya terjadi proses institusionalisasi kekuasaan yang melembaga dalam keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan -aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Kekuasaan tidak lagi dalam wajah klasiknya sebagai sebuah kekerasan, represi, atau manipulasi ideologi.

Dalam setting ini maka pelecehan seksual seringkali tidak selalu dan tidak hanya yang kasatmata. Dibutuhkan kepekaan, kecerdasan, dan kearifan untuk memberi penyadaran dan pengikisan hubungan kekuasaan asimetri secara seksual, yang dalam banyak hal bermuara pada
kasus-kasus pelecehan seksual. Kathleen Staudt dan Jane Jacquette dalam Women’s Programs Bureacratic Resistance, and Feminist Organisation (Parsons, 2005: 263-4), mengatakan:
“...meskipun ada kemajuan dalam undang-undang dan kebijakan progresif di tingkat nasional dan internasional, tampak jelas ada pembelokan dalam redistribusi sumberdaya dan nilai diantara pria dan wanita. Salah satu dari alasannya menurut mereka adalah resistensi biro krasi untuk mendistribusi dan karena isu itu sendiri yang bermuatan konflik:kemenangan nyata seringkali dihambat oleh keengganan, penghindaran, dan distorsi dari pihak birokrasi... program untuk memperkuat integrasi ekonomi perempuan dan meredistribusi pel uang dan sumberdaya berdasarkan jender tampak menjadi ancaman bagi pengambil keputusan birokratik yang dikuasai pria, ancaman yang dapat dengan mudah diidentifikasi dan dilawan dengan banyak cara.” roni yang tercermin dalam pendapat diatas menegaskan b ahwa di dalam birokrasi terdapat resistensi dari laki-laki terhadap pengembangan karir perempuan dan di banyak aspek
keperempuanan. Praktek-praktek yang berhulu pada resistensi telah dilestarikan secara terus
menerus di dalam dan oleh elit di segala lini birokrasi, sehingga dalam batasan yang agak longgar
dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual, sebagaimana perluasan definisi pelecehan yang
disepakati saat ini.

GENDER MAINSTREAMING IN IPM A participatory approach in institutionalizing and integrating gender equality in IPM networks and project policies in Ind

Indonesian farmers, especially women, in the last four decades, have been discriminated by the Indonesian government policies on agricultural development. Since the Green Revolution era, as well as the post green revolution era of Free Trade agriculture liberalization policies, they have been subordinated, marginalized, and displaced from the paddy field by those policies. Although The UN convention on Elimination all forms of discriminations against women has been ratified by the Indonesian government in the 80s and many other UN conventions on women related issues have been adopted, unfortunately they are not automatically prevent the discrimination against women to take place. The recent emergence of the awareness of women equal rights as one of the impact of The Beijing Women Conference 1995, however, does not stop the violation
against women rights.

But recently, we are witnessing a phenomenon of emerging of new consciousness to eliminate all forms of discriminations by the farmers themselves in the IPM community networks. The idea of elimination of all forms of discrimination against women in the farmer’s community actually has nothing to do with those UN women conventions. The idea of protecting women among the farmers community, actually has been part of old tradition and belief of the farmers, that women dignity traditionally must be protected. However the new awareness of eliminating all forms of discriminations against women was part of a farmers’ movement of institutionalising gender in the IPM network, which has a mission that women farmers should be prevented from all forms of social, political, economic as well as cultural dehumanisation. In this paper, I try to explore and describe the experience and experiment of IPM farmers’ networks on how they conducted “Gender mainstreaming” or how they have established institutionalisation of gender equality, and strategize and sustained by farmers themselves. This paper basically is developed base on the experiment of farmers in doing participatory gender mainstreaming in the Indonesian IPM farmers networks.

Gender in the Farmers community
All forms of gender based discriminations that take place in the farmers community, actually is a phenomenon that is not easily recognized by farmers themselves. Gender base discrimination is a form of discrimination that structurally and culturally operates in agriculture development programs as well as in the community, which are not easily to be recognized because they have been accepted by farmers men and women and therefore is believed as natural. However, gender discrimination that takes place in the farmers community, took place due to unequal gender relation between male farmers and female farmers basically is socially constructed. In other words, Gender based discrimination is very difficult to understand, because it has already socialized for long time. Gender relations among farmers basically are socially determined relations that differentiate male and female farmers situations. Although Farmers (male and female) are born biologically female or male, but have acquired gender identity. Gender relation between male and female and gender dimension of the social relations are structuring and influencing the relation between male and female in agriculture, such as gender division of labour and division of access to and control over agriculture sources including agriculture
development programs between male and female.

Unintentionally, many development programs have been impacted to male farmers then to female farmers. Therefore, many agriculture programs have been in favour of male farmers as a gender, and against women farmers as a gender in the farmer’s community including within the IPM farmers network. For example during the Green Revolution programs in Indonesia, millions of women were displaced from the paddy field and agriculture systematically by the program that leads to marginalization of millions of women farmers. Learning from the past agriculture development policies as well as the IPM programs, especially on how the IPM program have contributed to the marginalization and displacement of women farmers from agriculture and other negative impact to women, IPM program staff have expressed their concern that the progr mneeds a special program of integrating gender into IPM. Based on the concern, the IPM
Indonesia program management initiated a special program of integrating gender in the IPM.

This program actually is not a new program in the IPM. From the very beginning of FFS, the IPM program actually have tried to integrate gender perspective by conducted several workshops on gender, especially for the national program staffs and experts. The result and the follow up implementation of those workshops, however, could not be implemented in to the IPM network. Unfortunately, after several approaches introduced in the program to integrate gender in the IPM have not resulted effective change. The mid term evaluation conducted by the evaluator reveals that IPM needs professional help to integrate gender in the IPM.

Based on the suggestion, finally IPM took an initiative to develop an alternative model of integrating gender in the IPM program, namely by adopting a participatory model of gender mainstreaming. This is an approach that place farmers, women and men at the center of the process of integrating gender into the program. It is a model where farmers themselves become the main actors in the process of transforming the IPM into a gender equal organization. It is a process of transforming IPM community becomes a just and fair society. This approach is taken to respond the marginalization of women in agricultural policy that has taken places for years. Even in development terminology, ‘farmer’ means man. Those who are involved in and invited to any training activities have been men. This is true that in the IPM program for 15 years, the majority of the participants and facilitators were men.

The main aim of gender mainstreaming in the IPM
The aim of gender mainstreaming in the IPM networks and policy, basically is a process to ensure that women and men benefit equally and that inequality and all forms discrimination such as marginalization, subordination, burden and violence against women farmers are not perpetuated and stopped within the IPM networks in Indonesia. These aims are achieved by establishing Gender strategy activities in the IPM farmers’ networks. The objectives of the activities include:
1. Conducting a recruitment of the core team facilitators for Institutionalisation of
gender in the IPM network;
2. Creating Special Gender Training for farmers, covering several topics, i.e.
Establishing a Gender training curriculum for farmers; gender injustice in rural
areas, social and political factors that influencing the situation, development tools
to assess gender problems in rural areas, and follow up plan of action;
3. Establishing participatory Gender Assessment Tools concerning gender problems
in rural areas carried out by IPM farmers. The participatory Assessment Tools
that were conducted through participatory Research and FGD, and simultaneous
problem solving;
4. Doing Gender Workshops to establish a training curriculum including gender
issues; raising gender critical consciousness in rural areas, especially within the
IPM farmers network.
5. Workshop evaluation, i.e. a discussion activity to identify weaknesses and
strengths of action results in the rural areas. At the end of the workshop, some
further discussions regarding the development of gender strategy in IPPHTI
organization in the future were held in the field.

The Second Sex

FOR a long time I have hesitated to write a book on woman. The subject is irritating, especially to women; and it is not new. Enough ink has been spilled in quarrelling over feminism, and perhaps we should say no more about it. It is still talked about, however, for the voluminous nonsense uttered during the last century seems to have done little to illuminate the problem. After all, is there a problem? And if so, what is it? Are there women, really? Most assuredly the theory of the eternal feminine still has its adherents who will whisper in your ear: ‘Even in Russia women still are women’; and other erudite persons – sometimes the very same – say with a sigh: ‘Woman is losing her way, woman is lost.’ One wonders if women still exist, if they will always exist, whether or not it is desirable that they should, what place they occupy in this world, what their place should be. ‘What has become of women?’ was asked recently in an ephemeral magazine.

But first we must ask: what is a woman? ‘Tota mulier in utero’, says one, ‘woman is a womb’. But in speaking of certain women, connoisseurs declare that they are not women, although they are equipped with a uterus like the rest. All agree in recognising the fact that females exist in the human species; today as always they make up about one half of humanity. And yet we are told that femininity is in danger; we are exhorted to be women, remain women, become women. It would appear, then, that every female human being is not necessarily a woman; to be so considered she must share in that mysterious and threatened reality known as femininity. Is this attribute something secreted by the ovaries? Or is it a Platonic essence, a product of the philosophic imagination? Is a rustling petticoat enough to bring it down to earth? Although some women try zealously to incarnate this essence, it is hardly patentable. It is frequently described in vague and dazzling terms that seem to have been borrowed from the vocabulary of the seers, and indeed in the times of St Thomas it was considered an essence as certainly defined as the somniferous virtue of the poppy But conceptualism has lost ground.

The biological and social sciences no longer admit the existence of unchangeably fixed entities that determine given characteristics, such as those ascribed to woman, the Jew, or the Negro. Science regards any characteristic as a reaction dependent in part upon a situation. If today femininity no longer exists, then it never existed. But does the word woman, then, have no specific content? This is stoutly affirmed by those who hold to the philosophy of the enlightenment, of rationalism, of nominalism; women, to them, are merely the human beings arbitrarily designated by the word woman. Many American women particularly are prepared to think that there is no longer any place for woman as such; if a backward individual still takes herself for a woman, her friends advise her to be psychoanalysed and thus get rid of this obsession. In regard to a work, Modern Woman: The Lost Sex, which in other respects has its irritating features, Dorothy Parker has written: ‘I cannot be just to books which treat of woman as woman ... My idea is that all of us, men as well as women, should be regarded as human beings.’ But nominalism is a rather inadequate doctrine, and the antifeminists have had no trouble in showing that women simply are not men. Surely woman is, like man, a human being; but such a declaration is abstract. The fact is that every concrete human being is always a singular, separate individual. To decline to accept such notions as the eternal feminine, the black soul, the Jewish character, is not to deny that Jews, Negroes, women exist today – this denial does not represent a liberation for those concerned, but rather a flight from reality. Some years ago a well-known woman writer refused to permit her portrait to appear in a series of photographs especially devoted to women writers; she wished to be counted among the men. But in order to gain this privilege she made use of her husband’s influence! Women who assert that they are men lay claim none the less to masculine consideration and respect. I recall also a young Trotskyite standing on a platform at a boisterous meeting and getting ready to use her fists, in spite of her evident fragility. She was denying her feminine weakness; but it was for love of a militant male whose equal she wished to be. The attitude of defiance of many American women proves that they are haunted by a sense of their femininity. In truth, to go for a walk with one’s eyes open is enough to demonstrate that humanity is divided into two classes of individuals whose clothes, faces, bodies, smiles, gaits, interests, and occupations are manifestly different. Perhaps these differences are superficial, perhaps they are destined to disappear. What is certain is that they do most obviously exist.

If her functioning as a female is not enough to define woman, if we decline also to explain her through ‘the eternal feminine’, and if nevertheless we admit, provisionally, that women do exist, then we must face the question “what is a woman”?.

To state the question is, to me, to suggest, at once, a preliminary answer. The fact that I ask it is in itself significant. A man would never set out to write a book on the peculiar situation of the human male. But if I wish to define myself, I must first of all say: ‘I am a woman’; on this truth must be based all further discussion. A man never begins by presenting himself as an individual of a certain sex; it goes without saying that he is a man. The terms masculine and feminine are used symmetrically only as a matter of form, as on legal papers. In actuality the relation of the two sexes is not quite like that of two electrical poles, for man represents both the positive and the neutral, as is indicated by the common use of man to designate human beings in general; whereas woman represents only the negative, defined by limiting criteria, without reciprocity. In the midst of an abstract discussion it is vexing to hear a man say: ‘You think thus and so because you are a woman’; but I know that my only defence is to reply: ‘I think thus and so because it is true,’ thereby removing my subjective self from the argument. It would be out of the question to reply: ‘And you think the contrary because you are a man’, for it is understood that the fact of being a man is no peculiarity. A man is in the right in being a man; it is the woman who is in the wrong. It amounts to this: just as for the ancients there was an absolute vertical with reference to which the oblique was defined, so there is an absolute human type, the masculine. Woman has ovaries, a uterus: these peculiarities imprison her in her subjectivity, circumscribe her within the limits of her own nature. It is often said that she thinks with her glands. Man superbly ignores the fact that his anatomy also includes glands, such as the testicles, and that they secrete hormones. He thinks of his body as a direct and normal connection with the world, which he believes he apprehends objectively, whereas he regards the body of woman as a hindrance, a prison, weighed down by everything peculiar to it. ‘The female is a female by virtue of a certain lack of qualities,’ said Aristotle; ‘we should regard the female nature as afflicted with a natural defectiveness.’ And St Thomas for his part pronounced woman to be an ‘imperfect man’, an ‘incidental’ being. This is symbolised in Genesis where Eve is depicted as made from what Bossuet called ‘a supernumerary bone’ of Adam.

TUBUH PEREMPUAN DALAM IKLAN

Berbicara tentang wanita tidak terlepas dari penampilan fisiknya. Segala +bentuk interpretasi dari tubuh wanita merupakan perbincangan yang tak pernah bertepi. Berbagai tema kerap muncul di setiap perdebatan. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sebuah representasi lebih mudah diterima dalam masyarakat apabila telah ada sistem pemaknaannya. Pemaknaan mengenai citra kecantikan wanita, di dalam struktur sosial masyarakat berkembang melalui tataran nilai-nilai budaya yang telah dianut lama, seperti tradisi, adat, norma, nilai-nilai feodal dan sebagainya. Misalnya, dalam budaya jawa wanita dan kecantikan diibaratkan sebagai sekeping mata uang logam dengan dua sisi yang saling berdekatan. Ungkapan dan perlambangan mengenai kecantikan wanita, selalu mengacu pada hal yang bersifat feminitas dan keibuan. Wanita simbol pembawa keindahan yang mengandung makna kehalusan, keanggunan, kelembutan, dan lainnya. Kecantikan, sebagaimana keindahan, menjadi harmoni yang bermakna keseimbangan antara lahir dan batin.

Namun demikian, makna kecantikan sangat relatif serta beragam yang selalu mengalami gerak pergeseran bersamaan dengan perkembangan jaman jauh sebelumnya, pernah wanita ideal diidentikkan dengan tubuh yang gemuk dan berlekuk-lekuk layaknya wanita rumahan. Bentuk tubuh ideal pada masa tersebut adalah yang mampu mewakili citra kesuburan. Pernah pula figur-figur langsing semacam Marilyn Monroe atau Kacqueline Onassis menghiasi sampul-sampul majalah-majalah terkemuka dijamannya. Cantik juga pernah diidentikkan dengan figur wanita langsing dan tipis seperti sosok Twiggy, berpenampilan gadis usia belasan tahun, tomboy, rambut pendek seperti laki-laki, dan lebih kurus untuk wanita ukuran normal. Namun ada pula ketika wanita cantik diidentikkan dengan sosok semacam Pamela Anderson, Britney Spears, Cristina Aguilera atau yang lainnya yang belakangan ini makna kecantikan diakomodir oleh figur wanita era millennium.

Pergeseran makna cantik yang selalu berubah mengikuti perkembangan jaman, menunjukkan adanya perubahan konstruksi mengenai kecantikan itu sendiri. Sebagai bagian dari perlekatan konsep wanita ideal, industri media, dalam hal ini iklan-iklan di media massa, memiliki peran melalui lalu lintas pesan yang dikomunikasikannya kepada khalayak(wanita). Silahkan pantau sederetan iklan yang ditampilkan di media televisi. Dari iklan untuk yang menawarkan rokok, minuman penambah energy, obat penambah tenaga dan semangat lembur bagi lelaki, kondom, motor, dll. Banyak produk yang berhubungan langsung dengan perempuan mempergunakan dunia perempuan, semata untuk menarik perhatian. Semua sarat akan eksploitasi tubuh perempuan, sangat merendahkan martabat perempuan serta memberikan contoh pelecehan seksual terhadap perempuan. Iklan tidak jarang menampilkan perempuan sebagai objek seks dan instrumen seks.

Kecenderungan seseorang untuk menemukan kekurangan pada dirinya adalah suatu hal yang sangat memungkinkan. Artinya, seseorang akan melihat dirinya serba kekurangan. Fenomena inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kalangan pembuat iklan untuk memasuki wilayah bawah sadar seseorang. Beberapa produk perawatan tubuh ditawarkan untuk mengeliminir kekurangan-kekurangan itu. Sehingga jika berbicara tentang tubuh perempuan, tidak terlepas dari perdebatan ragam rekayasa citra. Citra akan permaianan tubuh merupakan sebuah permainan yang rapi dan terancang amat baik. Perempuan yang ditampilkan dalam iklan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya patriarki yang hanya menjadikan perempuan sebagai pendamping pria dari mulai remaja sampai nenek-nenek. Dalam iklan, perempuan diidentikkan dengan kegiatan masak-memasak, kecantikan, perawatan tubuh, bentuk-bentuk tubuh yang proporsional, kulit putih, rambut lurus dan panjang. Media terutama iklan memang sangat berpengaruh kuat dalam menentukan gambaran perempuan yang seolah-olah didambakan dalam masyarakat. Banyak iklan yang secara tidak langsung mendiskreditkan peempuan yang dianggap tidak memenuhi Kriteria badan ideal perempuan dewasa.

Perempuan dengan tubuh yang tidak langsing, atau tidak berkulit putih dan berambut lurus tidak mendapatkan tempat dalam media iklan dan bukan tIpe perempuan ideal yang didambakan laki-laki. Citra stereotip perempuan seperti yang disebutkan dalam iklan-iklan melekat dalam masyarakat, maka tidak mengherankan kalau biro iklan selalu mengikuti citra masyarakat dan menggantungkan dirinya pada komodifikasi tubuh peempuan. Karena dalam iklan, segi komersial menjadi pertimbangan utama. Beberapa alasan penyebab dipilihnya perempuan pada sebagian besar iklan adalah ; alasan pertama, karena sebagian besar iklan ditujukan pada perempuan, pembeli potensial dan produk yang diiklankan di Indonesia kebanyakan barang konsumsi sehari-hari. Alasan kedua, yang menentukan pembelian barang-barang ini adalah perempuan. Memang hanya sekitar 30% perempuan adalah bekerja, tetapi survey menunjukkan bahwa mereka tetap memegang peranan dalam soal rumah tangga.

Sosiolog, Dr. Thamrin Amal Tamagola menemukan 5 citra perempuan dalam iklan, yang ia sebut sebagai P-5 : citra peraduan, citra pigura, pilar rumah tangga, citra pergaulan dan citra pinggan. Citra peraduan bersangkut paut dengan citra perempuan sebagai obyek seksual. Paling jelas dalam iklan obat-obat kuat, kondom dan sebagainya.

Citra pigura, perempuan sebagai makhluk yang cantik dan harus selalu menjaga kecantikannya dengan latihan fisik, diet, aksesori, pakaian; segala sesuatu yang mewah diasosiasikan sebagai perempuan. Citra yang paling banyak dieksploitasi adalah perempuan sebagai pilar rumah tangga. Ia harus menjalankan tugasnya mulai dari yang tradisional; sumur, kasur, dapur, sampai dengan yang agak modern, agak mutakhir, tetapi tetap dalam lingkup domestik. Dari dapur sudah sampai ke ruang tamu, menemani tamu suaminya, tapi masih dilingkup domestik. Bapak harus dihormati karena ia bekerja keras mencari nafkah setiap hari, sedangkan ibu harus mengelola keluarga dengan baik, mengurus telaten suaminya.

Sebagai pilar, perempuan juga diharapkan mampu me-manage rumah tangga. Ia sekurang-kurangnya harus mengelola 3 hal. Pertama, barang-barang di dalam rumah. Kedua, mengelola belanja, finansial. Ketiga,mengelola anak-anak dan para pembantu. Perempuan yang bekerja di dalam rumah diharapkan mampu menerapkan manajemen modern di dalam rumah tangga. Disitu konsep tradisional dari perempuan sebagai pilar rumah tangga dan keluarga, yang menggambarkan perempuan memiliki beban ganda sebagai penentu keberhasilan manajemen keuangan keluarga dan sebagai ibu yang bisa mengurus anak dan suami. Iklan untuk berbagai macam alat rumah tangga hasil teknologi, memindahkan konsep-konsep publik ke domestik untuk memberi kesan pekerjaan domestik bukan pekerjaan yang melelahkan dan menghabiskan waktu, tetapi harus dikelola secara efektif, efisien dan sistematik.

Perempuan dalam citra pergaulan ada hubungannya dengan citra peraduan. Anggapan tersirat bahwa perempuan merupakan alat pemuas kebutuhan laki-laki, kecantikan perempuan sepantasnya dipersembahkan kepada laki-laki lewat sentuhan, rabaan, pandangan, ciuman dan sebagainya. Dalam beberapa iklan suplemen makanan dan ramuan tradisional pembangkit gairah seksual, kepuasaan tidak hanya pada laki-laki tetapi juga berdampak pada diri perempuan yang merasa dihargai oleh laki-laki.

Selain itu, dalam konsep Jawa, seorang istri menjadi pendamping yang merefleksikan status, jabatan suami dalam dirinya. Bukannya fisik, tapi perilaku tata kramanya, juga bahan percakapan dan bahasa yang dipakai. Artinya istri harus mengimbangi suaminya dengan percakapan-percakapan yang selevel dengan status suami. Citra pinggang lebih banyak digunakan untuk menawarkan makanan, minuman, bumbu masak, alat-alat rumah tangga dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dapur. Setinggi apapun pendidikan perempuan atau berapa besarpun penghasilan perempuan,ia tak akan dapat jauh dari dapur, kompor, asap penggorengan, bumbu masak dan lain-lain.