RSS
Write some words about you and your blog here

Gender and Sexual Harassment

Pelecehan seksual merupakan bentuk dari deskriminasi seksual yang terdiri dari dua bentuk

diantaranya yaitu pelecehan seksual ‘quid pro quo harassment (I give, You give)’ yang sifatnya

timbal balik yang dapat menjadi dasar dalam pengambilan keputusan dalam dunia kerja dan

pelecehan seksual dalam bentuk kondisi lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kinerja

pegawai misalnya lelucon, ejekan dan komentar seksual. Tetapi pada intinya ruang lingkup

yang ditekankan pada artikel ini adalah pelecehan seksual yang terjadi pada wanita yang

kurang atau tidak diterima pada lingkungan kerja tertentu atau tidak dihargai oleh grup

tertentu.

Dua pendekatan yang dilakukan untuk melakukan penilaian atau pengukuran tindakan

pelecehan seksual. Pertama adalah SEQ (Sexual Experiences Questionaire) yang menilai

pelecehan seksual secara psikologi seperti rasa kurang nyaman dalam lingkungan kerja atau

dalam organisasi akibat lelucon seksual. Kedua adalah ISH (Inventory of Sexual Harassment)

yang menilai pelecehan seksual dalam bentuk tingkah laku.

Tetapi kadang pada situasi tertentu yang menggunakan wanita sebagai objek untuk menarik

keuntungan disuatu lingkungan kerja tidak dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

Contohnya, pelayan bar wanita harus menggunakan rok pendek ketat dan pelanggan yang

memesan minuman bar dengan bahasa seksual. Hal ini tidak dikategorikan sebagai pelecehan

seksual karena hal ini tidak melanggar ras, norma dan kebijakan yang diterapkan oleh

organisasi atau lingkungan kerja.

Teori dan penjelasan tentang pelecehan seksual, terutama alasan dan kondisi yang

menyebabkan terjadi pelecehan seksual. Teori dan penjelasan ini dibagi menjadi 3; dari sisi

sosial, organisasi dan sisi individu. Pada sisi sosial menjelaskan tentang bagaimana kadudukan

wanita terhadap pria di dalam lingkungan kerja dan masyarakat dan juga status individu. Di

dalam organisasi, terdapat jabatan dan status yang merepresentasikan kekuatan sehingga

Dinamika Desentralisasi dan Demokrasi Lokal

Desentralisasi dan demokratisasi merupakan dua arus utama perubahan politik di
Indonesia selama lima tahun transisi dan reformasi politik. Secara teoretis antara
desentralisasi dan demokratisasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Desentralisasi dan
otonomi daerah tidak hanya berurusan dengan persoalan pembagian kewenangan dan
keuangan dari pusat ke daerah, melainkan juga hendak membawa negara lebih dekat
pada masyarakat atau membuat demokrasi lokal bekerja (akuntabilitas lokal,
transparansi, responsivitas dan partisipasi masyarakat). Voice, akses dan kontrol
masyarakat terhadap pemerintah akan lebih dekat apabila terjadi desentralisasi dan
otonomi daerah. Tanpa demokrasi dan partisipasi, maka desentralisasi dan otonomi
daerah hanya memindahkan sentralisasi dan korupsi dari Jakarta ke daerah, atau hanya
menghasilkan raja-raja kecil di daerah yang lebih mengutamakan pemeliharaan
kekuasaan dan penumpukan kekayaan.
Sebaliknya demokratisasi yang terjadi di level nasional harus didesentralisasikan
ke tingkat lokal. Jika tidak ada desentralisasi, maka sama saja menjauhkan pemerintah
dari masyarakat dan sekaligus mempersempit akses masyarakat dalam proses politik.
Demokratisasi tidak hanya mencakup masalah pemilihan umum nasional atau check and
balances antara DPR dan Presiden yang terjadi di Jakarta, melainkan yang jauh lebih
penting adalah praktik demokrasi di tingkat lokal, termasuk partisipasi masyarakat
dalam urusan publik yang berkenaan dengan hidupnya sehari-hari.
Belajar dari kasus Italia, Robert Putnam, misalnya, membangun argumen yang
kuat bahwa desentralisasi menumbuhkan partisipasi dan tradisi kewargaan di tingkat
lokal. Partisipasi demokratis warga telah membiakkan komitmen warga yang luas
maupun hubungan-hubungan horisontal: kepercayaan (trust), toleransi, kerjasama, dan
solidaritas yang membentuk apa yang disebut Putnam komunitas sipil (civic community).3

Indikator-indikator civic engagement -- solidaritas sosial dan partisipasi massal -- yang
merentang pada gilirannya berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan
kualitas kehidupan demokratis. Selama seperempat abad terahir, desentralisasi politik di

1Makalah Disajikan dalam Lokakarya “Wawasan Pembangunan Nasional” yang
diselenggarakan oleh Yayasan Bina Masyarakat Mandiri (YBM2), Bogor, 17-19
September 2003.
2Ketua SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (STPMD) “APMD”
Yogyakarta dan Direktur INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE)
Yogyakarta.
3Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy
(Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1993). Gagasan Putnam tentang
civic community ini sangat dipengaruhi oleh repiblikenisme dan pemikiran Tocqueville
ketika dia mengkaji tentang kehidupan asosiasional sebagai basis demokrasi di
Amerika Serikat. Lihat Alexis de Tocqueville, Democracy in America, ed. J.P. Mayer
(Garden City, NY: Anchor Books, 1969).

AUGUST COMTE( 1798-1857)


1. Catatan Biografi

August Comte lahir pada tanggal 19 Januari di kota Montpellier di bagian

selatan Prancis. Dari 1814 – 1816 ia belajar di sekolah Politeknik di kota Paris.

Dalam tahun 1817 ia di angkat menjadi sekretaris Saint Simon. Ia menerbitkan

bukunya” System Politik Positif” (1824). Pada tahun 1830 jilid pertama dari seri”

Filsafat Positif”(Cours De Philosoophie Positive) terbit. Comte meninggal dunia

di kota Paris pada tanggal 5 September 1857 (Timasheff, N. 1955: 16-18).

2. Positivisme Adalah Dasar Menyusun Masyarakat Baru

Istilah “positif” paling sering muncul dalam buku-buku Comte.

Positivisme adalah paham filafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan

benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode

ikmmu pengetahuan (science).

Positivisme adalah ajaran bahwa hanya fakta atau hal yang dapat ditinjau

dan diuji, melandasi pengetahuan sah. Maka metafisika dan teologi harus

dianggap sebagai permainan kata atau spekulasi liar saja. Comte akan menolak

cara orang purba berpikir, dimana pengalaman yang sehari-hari dan perasaan

rellligius saling meresapi, dan agama merupakan penafsiran dan pengertian yang

benar.

Comte yakin bahwa kemampuan akal-budi manusia untuk mengenal gejala

dunia, agak terbatas. Maka dari itu manusia harus bersahaja dalam aspirasinya

untuk mencari pengetahuan yang layak disebut ilmiah. Ia harus membatasi

MASALAH SOSIAL DAN MANFAAT SOSIAL

Masalah sosial acapkali dibedakan dengan dua macam persoalan, yaitu antara masalah sosial
masyarakat dengan problema sosial yang menyangkut analisa tentang macam-macam gejala
kehidupan masyarakat. Para sosiolog telah banyak mengusahakan adanya indeks-indeks yang
dapat dijadikan petunjuk bagi terjadinya masalah sosial misalnya simple rates, compsite indexes,
komposisi penduduk,social distance, partisipasi sosial dan sebagainya. Faktor-faktor masalah
sosial adalah ekonomi, biologis, boipsikologis dan kebudayaan.

Sosiologi mempergunakan beberapa pokok persoalan sebagai berikut ukurannya:
A. Tidak adanya kesesuaian antara ukuran/nilai-nilai sosial dengan kenyataan-kenyataan.
B. Sumber-sumber sosial dari masalah sosial.
C. Phak-pihak yang menetapkan apakah suatu kepincangan adalah masalah sosial atau tidak.
D. Latent social problem.
E. Perhatian masyarakat dan masalah sosial.
F. Sisitem nilai dan masalah sosial diperbaiki.

Beberapa masalah sosial yang penting adalah:
A. Kemiskinan, sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya
sendiri dengan ukuran kehidupan kelompoknya dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga
mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
B. Kejahatan
C. Disorganisasi keluarga, yaitu suatu perpecahan dal;am keluarga sebagai unit, oleh karena
anggota-anggota keluarga tersebut gagal memenuhi kewajiban-kewajiban yang sesuai dengan
peranan sosial.
D. Masalah generasi muda.
E. Peperangan.
F. Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat.
G. Masalah kedudukan.
H. Masalah lingkungan.
I. Birokrasi.

Sosiologi mempunyai kegunaan bagi proses pembangunan, dalam hal-hal sebagai berikut:
A. Tahap perncanaan, untuk mengidentifikasi:
1) Kebutuhan-kebutuhan sosial.
2) Pusat perhatian sosial.
3) Lapisan sosial.
4) Pusat-pusat kekuasaan.
5) Sistem dan saluran-saluran komunikasi sosial.
B. Tahap pelaksanaan:
1) Identifikasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat.
2) Pengamatan terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi.
C. Tahap evaluasi:
Analisa terhadap efek-efek sosila pembangunan.

Feminisme dan Pelecehan Seksual dalam Birokrasi Kekuasaan Pemerintahan

Feminisme sebagai suatu gerakan telah dipicu oleh perjuangan anti kekerasan yang berkembang bersamaan dengan gerakan anti otoritarianisme dan anti akselerasi persenjat aan di barat sebagai akibat perang dingin. Gerakan ini kemudian dipadukan dengan aktivitas akademik yang mengkritisi konsep-konsep dalam ilmu sosial konvensional -positivistik. Ketika muncul kesadaran akan adanya hubungan-hubungan asimetris berdasarkan jeni s kelamin, maka pemahaman studi perempuan dapat dilihat sebagai bidang kajian yang berfokus pada perempuan, dan historis.

Karenanya studi tentang perempuan dapat didefinisikan pertama, studi untuk memperoleh pemahaman tentang perkembangan hubungan -hubungan asimetris berdasarkan jenis kelamin, ras, dan kelas dalam masyarakat. Kedua, studi untuk mencari strategi yang dapat merubah situasi hubungan asimetris kepada hubungan - hubungan yang lebih simetris.

Untuk mencapai target perubahan menuju yang lebih simet ris, studi perempuan membutuhkan
langkah sistematik dan konkrit dalam suatu gerakan ( movement). Ratna Saptari (1992: 7) mengemukakan tiga pendekatan dalam gerakan dan studi perempuan, yaitu pertama, feminisme radikal sebagai aliran yang berpendapat bawah s truktur masyarakat dilandaskan pada hubungan hierarkis berdasarkan jenis kelamin, mengasumsikan bahwa laki -laki sebagai suatu kategori sosial mendominasi perempuan sebagai kategori sosial lain. Kondisi ini melahirkan suatu model konseptual yang menjelaskan berbagai bentuk penindasan.

Dengan kata lain, jenis kelamin menjadi faktor yang menentukan: posisi sosial, pengalaman, kondisi fisik, psikologi, kepentingan, dan nilai-nilai seseorang, sehingga muncul slogan the personal is political, dengan fokus pada konsep utama Patriarki dan Seksualitas.
Kedua, feminisme liberal yang berpandangan bahwa laki -laki dan perempuan mempunyai hak
yang sama dalam mengembangkan kemampuannya. Siapapun hanya bisa intervensi dalam rangka menjamin terlaksananya hak yang azasinya. Ketiga , feminisme sosialis yang mengkaitkan dominasi laki-laki terhadap perempuan dengan proses kapitalisme. Berbagai bentuk patriarki dan pembagian kerja secara seksual tidak dapat lepas dari mode produksi dalam masyarakat (Denhardt & Denhardt, 2003).

Sebagaimana tercermin dari periode-periode awal revolusi industri dan kapitalisme yang membutuhkan tenaga kerja murah (baca: perempuan) bagi pekerjaan bertekonologi rendah. Metamorfosis kondisi ini terlestarikan hingga kini, dalam bentuk kebutuhan tenaga k erja laki-laki murah karena rendahnya lapangan kerja dan posisi tawar buruh, sehingga memunculkan tenaga kerja tidak dibayar dalam rumah tangga (baca: perempuan)

SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS BEBAS DI KOTA NEGARA: PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA

Seks merupakan salah satu kenikmatan hidup yang paling kontroversial. Seks
mempunyai makna yang luas berdimensi biologis, psikologis, dan sosiokultural. Seks
selalu menarik untuk diwacanakan dan dipraktekkan, tapi selalu menimbulkan
kontradiksi di masyarakat. Sementara itu kasus-kasus akibat seks bebas terus muncul.
Remaja merupakan usia yang paling rentan terkena masalah seksual. Seks bebas
menurut pendapat remaja adalah hubungan seks antara dua individu tanpa ikatan
perkawinan. Pendapat yang paling ekstrim menganggap semua aktivitas seksual
apabila pikiran mengarah ke hubungan seks merupakan seks bebas. Sebanyak 88,33%
responden mengatakan ingin melakukan hubungan seks tapi takut resiko. Sebanyak
26,26% responden mengatakan bahwa cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan seks
adalah hubungan seks. Akan tetapi semua responden (100%) berpendapat bahwa
hubungan seks pada masa remaja hendaknya dihindari. Sebanyak 5,00% responden
setuju dengan aborsi, sebanyak 36,66% responden setuju memberikan toleransi
kepada kaum homoseks/lesbian, dan sebanyak 1,67% responden tidak setuju dengan
hukuman berat bagi pemerkosa. Makna yang dapat dikemukakan adalah bahwa semua
responden masih dapat mengendalikan diri untuk tidak melakukan hubungan seks.
Perjuangan kaum wanita dan kaum homoseks/lesbian untuk menuntut kesetaraan
gender sudah mendapatkan simpati di kalangan sebagian responden.

Seks merupakan salah satu kenikmatan hidup yang paling kontroversial, tapi

selalu menarik untuk diwacanakan maupun dipraktekkan sepanjang masa. Oleh

karena itu seks selalu menjadi perdebatan. Namun setiap perdebatan selalu merembes

kepada unsur negatif dari seks itu sendiri yaitu seks bebas. Sejarah menunjukkan

bahwa pandangan mengenai seks adalah penuh kontroversial. Pada awal abad ke-17,

dunia Barat moderm, dunia Kristen, seks sangat tertutup. Victorianisme menabukan

seks, terjadi represi seks secara umum dan diskursus seks secara khusus. Seks hanya

boleh untuk tujuan prokreatif. Akan tetapi ternyata kontra produktif oleh karena

diskursus seksual ilegal merebak. Hal ini berbeda dengan pada zaman Yunani kuno di