Dalam 10 tahun reformasi, 29 produk kebijakan telah dihasilkan untuk menangani dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, berupa: 11 kebijakan di tingkat nasional, 15 kebijakan di tingkat daerah dan 3 kebijakan di tingkat regional ASEAN. Sebanyak 235 lembaga baru – dari Aceh hingga Papua – telah didirikan oleh masyarakat dan negara untuk menangani kekerasan terhadap perempuan: Komnas Perempuan di tingkat nasional, 129 Unit Pelayanan bagi Perempuan dan Anak di Polres, 42 Pusat Pelayanan Terpadu di rumah-rumah sakit, 23 Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dan 41 women’s crisis center (WCC) di berbagai daerah. Perangkat pelaksanaan 29 produk kebijakan ini merupakan tantangan yang perlu segera dijawab, selain meningkatkan ketersediaan SDM yang kompeten untuk memberi layanan yang memenuhi hak-hak korban. Kerangka kebijakan dan kelembagaan baru ini mayoritas terfokus pada penanganan
KDRT.
Semua capaian terkait kerangka kebijakan dan kelembagaan baru berdiri di atas penderitaan dan perjuangan puluhan ribu perempuan yang menjadi korban kekerasan dari tahun ke tahun. Data tahun 2007 menunjukkan adanya 25.522 kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang ditangani oleh 215 lembaga, termasuk institusi penegak hukum, rumah sakit dan organisasi masyarakat pengada layanan. Angka kasus KTP yang ditangani meningkat terus secara konsisten, dari 7.787 kasus pada tahun 2003. Hal ini mencerminkan membaiknya tingkat kesadaran korban dan publik untuk mencari bantuan untuk mencari jalan keluar dari kekerasan yang dialami perempuan.
Dalam lima tahun terakhir, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan bentuk kekerasan yang terbanyak dialami perempuan dari tahun ke tahun. Sejak pengesahan UU Penghapusan KDRT, pada tahun 2004, jumlah kasus yang ditangani melonjak sampai hampir empat kali lipat. Lembaga yang paling banyak menangani kasus-kasus KDRT adalah Pengadilan Agama (penelantaran ekonomi dalam perkara gugat cerai) tetapi mereka tidak menggunakan UU PKDRT sebagai acuan. Pemisahan antara perkara perdata (cerai) dan pidana (KDRT) dalam sistem peradilan Indonesia ternyata tidak menguntungkan kepentingan perempuan korban untuk mendapatkan keadilan. Tantangan baru yang terbesar bagi perempuan di Indonesia berasal dari 27 kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, baik melalui kriminalisasi perempuan (17 kebijakan) maupun melalui pengendalian tubuh perempuan oleh negara (10 kebijakan). Ke- 27 kebijakan diskriminatif ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari 88 kebijakan daerah yang menggunakan agama dan moralitas sebagai landasan. Lembaga negara tingkat nasional terbukti lalai dalam menjaga konsistensi kebijakan daerah dengan hukum nasional dan Konstitusi ketika Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak uji materi sebuah perda diskriminatif dari Kota Tangerang, pada tahun 2007 yang lalu, karena dianggap tidak bertentangan dengan hukum nasional.
Pada penghujung 10 tahun reformasi perlu dicatat bahwa bangsa Indonesia masih punya hutang besar kepada kaum perempuan korban kekerasan dalam konteks konflik dan pelanggaran HAM masa lalu. Tiga dekade rezim Orde Baru dan paruh pertama era reformasi telah dipenuhi oleh berbagai peristiwa kekerasan politik yang berskala massal di mana perempuan adalah korban yang lebih sering membisu. Upaya untuk mendukung pemulihan korban secara komprehensif, untuk membantu mereka keluar dari jeratan pemiskinan, bahkan untuk mengetahui kebenaran apa yang sebenarnya terjadi, masih terlalu kecil. Komnas Perempuan mengajukan 12 rekomendasi umum untuk melangkah maju dalam
upaya penanganan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan:
1. Pemerintah perlu melengkapi berbagai peraturan-perundangan di tingkat nasional, daerah dan regional ASEAN yang telah dibuat untuk mendukung penanganan komprehensif terkait kekerasan terhadap perempuan dengan menyediakan perangkat pelaksanaan yang memadai, termasuk:
a. mekanisme sosialisasi dan penguatan kapasitas di lingkungan birokrasi negara dan lembaga-lembaga penegak hukum
b. petunjuk teknis untuk memastikan pelaksanaan yang tepat guna dan peka jender oleh aparat pemerintahan di tingkat nasional hingga daerah
c. alokasi anggaran negara secara berkelanjutan untuk pelaksanaan dan monitoring-evaluasi
d. sistem pendataan nasional yang akurat dan relevan bagi perbaikan sistem penanganan kekerasan terhadap perempuan ke depan
2. Pemerintah perlu menciptakan mekanisme yang efektif bagi pencabutan dan pencegahan lahirnya berbagai kebijakan di tingkat nasional dan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, temasuk dengan:
a. mengeluarkan kebijakan eksekutif (misalnya Keputusan Presiden) yang memberi kewenangan bagi Departemen Hukum dan HAM untuk ikut mengambil peran aktif dalam melakukan perumusan peraturan daerah dan harmonisasi dengan hukum nasional
b. meningkatkan pengetahuan aparat Departemen Dalam Negeri tentang hak-hak konstitusional perempuan dan mengembangkan mekanisme bagi penegakannya melalui peraturan-peraturan daerah
c. meningkatkan daya tanggap dan kapasitas Mahkamah Agung dalam menyikapi permohonan uji material terhadap perda-perda diskriminatif sebagai bagian dari tugas untuk menjaga konsistensi peraturan-peraturan daerah dengan jaminan- jaminan hukum yang dijabarkan dalam UUD 1945
d. meningkatkan kapasitas legal drafting di tingkat daerah agar peraturan dan kebijakan daerah tidak bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga negara dan justru mendorong pemenuhan hak-hak konstitusional tersebut di tingkat daerah
3. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah nyata untuk memenuhi hak-hak perempuan korban kekerasan dan diskriminasi dalam konteks peristiwa-peristiwa konflik bersenjata dan pelanggaran HAM di masa lalu agar:
a. para korban bisa pulih kembali dan keluar dari siklus pemiskinan, dengan membuat mekanisme bantuan khusus yang peka gender, partisipatif dan transparan
b. para korban bisa terpenuhi rasa adil melalui proses pertanggungjawaban yang kredibel, peka jender dan berbasis HAM
c. para korban bisa mempunyai pengetahuan utuh tentang apa yang terjadi pada mereka, termasuk sebab-sebab, konsekuensi dan langkah-langkah untuk mencegah keberulangan
4. Pemerintah perlu membuat rencana aksi untuk mendorong pengembangan mekanisme pertanggungjawaban dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dalam jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI), terutama terkait peran mereka di daerah-daerah
konflik dan perbatasan negara.
5. Pemerintah perlu mendukung keberlanjutan lembaga-lembaga baru yang telah dibentuk oleh negara maupun masyarakat untuk menangani kekerasan terhadap perempuandengan menciptakan insentif bagi lahir dan berkembangnya filantropi domestik serta inisiatif-inisiatif corporate social responsibility untuk membiayai dan mendukung, secara efektif dan akuntabel, kerja-kerja masyarakat di bidang kemanusiaan, keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, termasuk keadilan jender.
6. Pemerintah perlu mendorong ketersediaan layanan terpadu yang bermutu bagi pemulihan perempuan korban kekerasan, termasuk tetapi tidak terbatas pada korban kekerasan dalam rumah tangga dan mencakup korban kekerasan negara dan kekerasan dalam komunitas, seperti buruh migran perempuan, perempuan miskin, perempuan minoritas dan perempuan dari kelompok rentan diskriminasi lainnya.
7. Masyarakat dan lembaga-lembaga HAM perlu memainkan peran aktif dalam melakukan pemantauan terhadap sistem penanganan kekerasan terhadap perempuan yang dikembangkan oleh Pemerintah, termasuk (walaupun tidak terbatas pada) kasus-kasus buruh migran yang pulang dalam kondisi bermasalah.
8. Lembaga-lembaga pendidikan, formal dan non-formal, dari berbagai disiplin ilmu, di tingkat nasional dan daerah, perlu mengintegrasikan pengajaran tentang kekerasan terhadap perempuan, HAM perempuan, dan analisis gender dalam kurikulumnya, guna meningkatkan profesionalisme dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan, terutama pada bidang ilmu kesehatan, hukum, kesejahteraan masyarakat, psikologi,ekonomi.
9. Masyarakat, khususnya lembaga-lembaga sosial, budaya dan agama, perlu meningkatkan peran aktifnya – melalui kontribusi dana dan karya kerelawanan – dalam menangani, mencegah dan mendorong pertanggungjawaban bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di lingkungannya masing-masing, dengan mengutamakan pemenuhan rasa adil korban, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, tanpa membatasi ruang gerak perempuan.
10. Komunitas pembela HAM perlu meningkatkan efektifitas dalam mengintegrasikan realitas dan aspirasi perempuan, terutama perempuan korban kekerasan dan diskriminasi, ke dalam keseluruhan perjuangan bagi pemenuhan hak-hak ekonomi sosial budaya serta hak-hak sipil politik bagi semua.
11. Gerakan perempuan perlu mengembangkan strategi yang komprehensif untuk penguatan kapasitas organisasi-organisasi perempuan, termasuk pendidikan politik tentang dampak politisasi identitas terhadap perempuan, dan pelibatan aktif generasi muda dalam gerakan perempuan.
12. Komunitas internasional perlu memberi dukungan nyata bagi inisiatif-inisiatif perempuan Indonesia dalam mewujudkan bangsa yang damai, demokratis, adil, sejahtera dan plural serta bagi penguatan lembaga-lembaga (nasional dan lokal) yang didirikan oleh perempuan untuk menangani kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
KDRT.
Semua capaian terkait kerangka kebijakan dan kelembagaan baru berdiri di atas penderitaan dan perjuangan puluhan ribu perempuan yang menjadi korban kekerasan dari tahun ke tahun. Data tahun 2007 menunjukkan adanya 25.522 kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang ditangani oleh 215 lembaga, termasuk institusi penegak hukum, rumah sakit dan organisasi masyarakat pengada layanan. Angka kasus KTP yang ditangani meningkat terus secara konsisten, dari 7.787 kasus pada tahun 2003. Hal ini mencerminkan membaiknya tingkat kesadaran korban dan publik untuk mencari bantuan untuk mencari jalan keluar dari kekerasan yang dialami perempuan.
Dalam lima tahun terakhir, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan bentuk kekerasan yang terbanyak dialami perempuan dari tahun ke tahun. Sejak pengesahan UU Penghapusan KDRT, pada tahun 2004, jumlah kasus yang ditangani melonjak sampai hampir empat kali lipat. Lembaga yang paling banyak menangani kasus-kasus KDRT adalah Pengadilan Agama (penelantaran ekonomi dalam perkara gugat cerai) tetapi mereka tidak menggunakan UU PKDRT sebagai acuan. Pemisahan antara perkara perdata (cerai) dan pidana (KDRT) dalam sistem peradilan Indonesia ternyata tidak menguntungkan kepentingan perempuan korban untuk mendapatkan keadilan. Tantangan baru yang terbesar bagi perempuan di Indonesia berasal dari 27 kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, baik melalui kriminalisasi perempuan (17 kebijakan) maupun melalui pengendalian tubuh perempuan oleh negara (10 kebijakan). Ke- 27 kebijakan diskriminatif ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari 88 kebijakan daerah yang menggunakan agama dan moralitas sebagai landasan. Lembaga negara tingkat nasional terbukti lalai dalam menjaga konsistensi kebijakan daerah dengan hukum nasional dan Konstitusi ketika Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak uji materi sebuah perda diskriminatif dari Kota Tangerang, pada tahun 2007 yang lalu, karena dianggap tidak bertentangan dengan hukum nasional.
Pada penghujung 10 tahun reformasi perlu dicatat bahwa bangsa Indonesia masih punya hutang besar kepada kaum perempuan korban kekerasan dalam konteks konflik dan pelanggaran HAM masa lalu. Tiga dekade rezim Orde Baru dan paruh pertama era reformasi telah dipenuhi oleh berbagai peristiwa kekerasan politik yang berskala massal di mana perempuan adalah korban yang lebih sering membisu. Upaya untuk mendukung pemulihan korban secara komprehensif, untuk membantu mereka keluar dari jeratan pemiskinan, bahkan untuk mengetahui kebenaran apa yang sebenarnya terjadi, masih terlalu kecil. Komnas Perempuan mengajukan 12 rekomendasi umum untuk melangkah maju dalam
upaya penanganan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan:
1. Pemerintah perlu melengkapi berbagai peraturan-perundangan di tingkat nasional, daerah dan regional ASEAN yang telah dibuat untuk mendukung penanganan komprehensif terkait kekerasan terhadap perempuan dengan menyediakan perangkat pelaksanaan yang memadai, termasuk:
a. mekanisme sosialisasi dan penguatan kapasitas di lingkungan birokrasi negara dan lembaga-lembaga penegak hukum
b. petunjuk teknis untuk memastikan pelaksanaan yang tepat guna dan peka jender oleh aparat pemerintahan di tingkat nasional hingga daerah
c. alokasi anggaran negara secara berkelanjutan untuk pelaksanaan dan monitoring-evaluasi
d. sistem pendataan nasional yang akurat dan relevan bagi perbaikan sistem penanganan kekerasan terhadap perempuan ke depan
2. Pemerintah perlu menciptakan mekanisme yang efektif bagi pencabutan dan pencegahan lahirnya berbagai kebijakan di tingkat nasional dan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, temasuk dengan:
a. mengeluarkan kebijakan eksekutif (misalnya Keputusan Presiden) yang memberi kewenangan bagi Departemen Hukum dan HAM untuk ikut mengambil peran aktif dalam melakukan perumusan peraturan daerah dan harmonisasi dengan hukum nasional
b. meningkatkan pengetahuan aparat Departemen Dalam Negeri tentang hak-hak konstitusional perempuan dan mengembangkan mekanisme bagi penegakannya melalui peraturan-peraturan daerah
c. meningkatkan daya tanggap dan kapasitas Mahkamah Agung dalam menyikapi permohonan uji material terhadap perda-perda diskriminatif sebagai bagian dari tugas untuk menjaga konsistensi peraturan-peraturan daerah dengan jaminan- jaminan hukum yang dijabarkan dalam UUD 1945
d. meningkatkan kapasitas legal drafting di tingkat daerah agar peraturan dan kebijakan daerah tidak bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga negara dan justru mendorong pemenuhan hak-hak konstitusional tersebut di tingkat daerah
3. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah nyata untuk memenuhi hak-hak perempuan korban kekerasan dan diskriminasi dalam konteks peristiwa-peristiwa konflik bersenjata dan pelanggaran HAM di masa lalu agar:
a. para korban bisa pulih kembali dan keluar dari siklus pemiskinan, dengan membuat mekanisme bantuan khusus yang peka gender, partisipatif dan transparan
b. para korban bisa terpenuhi rasa adil melalui proses pertanggungjawaban yang kredibel, peka jender dan berbasis HAM
c. para korban bisa mempunyai pengetahuan utuh tentang apa yang terjadi pada mereka, termasuk sebab-sebab, konsekuensi dan langkah-langkah untuk mencegah keberulangan
4. Pemerintah perlu membuat rencana aksi untuk mendorong pengembangan mekanisme pertanggungjawaban dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dalam jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI), terutama terkait peran mereka di daerah-daerah
konflik dan perbatasan negara.
5. Pemerintah perlu mendukung keberlanjutan lembaga-lembaga baru yang telah dibentuk oleh negara maupun masyarakat untuk menangani kekerasan terhadap perempuandengan menciptakan insentif bagi lahir dan berkembangnya filantropi domestik serta inisiatif-inisiatif corporate social responsibility untuk membiayai dan mendukung, secara efektif dan akuntabel, kerja-kerja masyarakat di bidang kemanusiaan, keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, termasuk keadilan jender.
6. Pemerintah perlu mendorong ketersediaan layanan terpadu yang bermutu bagi pemulihan perempuan korban kekerasan, termasuk tetapi tidak terbatas pada korban kekerasan dalam rumah tangga dan mencakup korban kekerasan negara dan kekerasan dalam komunitas, seperti buruh migran perempuan, perempuan miskin, perempuan minoritas dan perempuan dari kelompok rentan diskriminasi lainnya.
7. Masyarakat dan lembaga-lembaga HAM perlu memainkan peran aktif dalam melakukan pemantauan terhadap sistem penanganan kekerasan terhadap perempuan yang dikembangkan oleh Pemerintah, termasuk (walaupun tidak terbatas pada) kasus-kasus buruh migran yang pulang dalam kondisi bermasalah.
8. Lembaga-lembaga pendidikan, formal dan non-formal, dari berbagai disiplin ilmu, di tingkat nasional dan daerah, perlu mengintegrasikan pengajaran tentang kekerasan terhadap perempuan, HAM perempuan, dan analisis gender dalam kurikulumnya, guna meningkatkan profesionalisme dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan, terutama pada bidang ilmu kesehatan, hukum, kesejahteraan masyarakat, psikologi,ekonomi.
9. Masyarakat, khususnya lembaga-lembaga sosial, budaya dan agama, perlu meningkatkan peran aktifnya – melalui kontribusi dana dan karya kerelawanan – dalam menangani, mencegah dan mendorong pertanggungjawaban bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di lingkungannya masing-masing, dengan mengutamakan pemenuhan rasa adil korban, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, tanpa membatasi ruang gerak perempuan.
10. Komunitas pembela HAM perlu meningkatkan efektifitas dalam mengintegrasikan realitas dan aspirasi perempuan, terutama perempuan korban kekerasan dan diskriminasi, ke dalam keseluruhan perjuangan bagi pemenuhan hak-hak ekonomi sosial budaya serta hak-hak sipil politik bagi semua.
11. Gerakan perempuan perlu mengembangkan strategi yang komprehensif untuk penguatan kapasitas organisasi-organisasi perempuan, termasuk pendidikan politik tentang dampak politisasi identitas terhadap perempuan, dan pelibatan aktif generasi muda dalam gerakan perempuan.
12. Komunitas internasional perlu memberi dukungan nyata bagi inisiatif-inisiatif perempuan Indonesia dalam mewujudkan bangsa yang damai, demokratis, adil, sejahtera dan plural serta bagi penguatan lembaga-lembaga (nasional dan lokal) yang didirikan oleh perempuan untuk menangani kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar