1. Pengertian interaksi sosial
Interaksi sosial adalah ‘hubungan  timbal balik antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok  dengan kelompok dalam proses-proses sosial di masyarakat’. Hubungan  timbal balik tersebut disertai dengan adanya kontak sosial dan  komunikasi. Oleh karena itu syarat utama terjadinya interaksi sosial  adalah: (a) adanya kontak sosial antar kedua belah pihak; dan (b) adanya  komunikasi sosial antara kedua belah pihak.
Sedangkan pengertian  proses sosial adalah ‘proses interaksi antar aspek atau unsur sosial  disepanjang aktivitas kehidupan manusia di masyarakat’. Wujud dari  aktivitas proses sosial adalah kegiatan-kegiatan sosial individu dan  kelompok dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka pemenuhan beragam  kebutuhan hidupnya. Diantara konsep dasar dalam kajian tetang proses  sosial adalah ‘interaksi sosial’. Oleh karena itu menurut para ahli,  inti atau dasar dari proses-proses sosial di masyarakat adalah  ‘interaksi sosial’ (Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969; Soekanto, S,  2002). Proses-proses sosial dalam kehidupan di masyarakat bersifat  dinamik, dan mendasarkan pada nilai, norma yang berlaku di masyarakat.
2.  Fungsi interaksi sosial
Proses interaksi sosial yang bertentuk  kerjasama atau kooperatif (asosiatif) mempunyai fungsi positif antara  lain: (a) proses pencapaian tujuan hidup individu atau kelompok lebih  mudah terwujud; (b) mendorong terwujudnya pola kehidupan individu atau  kelompok secara integratif; (c) setiap individu dapat meningkatkan  kualitas beragam peran sosial dalam kehidupan kelompok; (d) mendorong  terbangunnya sikap mental positif pada setiap individu dalam  proses-proses sosialnya;  dan (e) mendorong lahirnya beragam inovasi di  berbagai bidang menuju masyarakt madani (masyarakat beradab).
Dalam  batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk persaingan atau  kompetisi (dissosiatif) mempunyai fungsi positif, antara lain: (a)  menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat  kompetitif; (b) sebagai media tersalurkannya keinginan, kepentingan  serta nilai-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian secara  baik oleh mereka yang bersaing; (c) merupakan alat untuk menempatkan  individu pada status dan peran yang sesuai dengan kemampua/ keahliannya;  dan (d) sebagai alat menjaring para individu atau kelompok yang  akhirnya menghasilkan pembagian kerja yang efektif.
Demikian juga,  dalam batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk konflik  (dissosiatif) mempunyai fungsi positif, yaitu: (a) dapat mendorong  terjadinya perubahan pola perilaku seseorang atau kelompok ke arah yang  lebih baik; (b) dapat mendorong terjadinya atau terbangunnya solidaritas  ingroup dalam kehidupan kelompok; dan (c) dapat mendorong lahirnya  karya demi karya yang lebih inovatif atau lebih maju (Wilson, E.K. 1966;  Mack, R. and Pease, J. 1973).
3. Tujuan interaksi sosial
Interaksi  sosial merupakan faktor paling kunci dalam proses-proses sosial.  Diantara tujuan seseorang melakukan interaksi sosial antara lain: (a)  untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan tertentu, baik yang bersifat  individu atau kelompok; (b) untuk proses pemenuhan aneka kebutuhan dasar  dan kebutuhan sosial atau pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik; (c)  untuk meningkatkan kualitas kompetensi diri dalam berbagai aspek  kehidupan sosial di masyarakat; (d) untuk membangun solidaritas ingroup  atau outgroup dalam kehidupan sosial di masyarakat; dan (e) dalam rangka  mendapat masukan atau media evaluai diri atau refleksi diri tentag pola  perilaku yang telah di lakukan dalam proses-proses sosial (Horton, P.  and Hunt, C.L. 1984; Sunarto, K. 2000).
Dalam rangka mewujudkan  tujuan interaksi sosial tersebut, maka setiap individu selama proses  interaksi sosial harus berdasarkan kepada nilai, norma sosial yang  berlaku dalam kelompoknya atau masyarakatnya. Nilai adalah ‘sesuatu yang  diangungkan, dianggap baik, dan dijadikan sebagai pedoman berperiku’.  Menurut Notonegoro ada tiga macam nilai, yaitu (1) nilai material  (segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia); dan (2) nilai vital  (segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan  kegiatan atau aktivitas hidup); dan (3) Nilai kerohanian, yaitu segala  sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian terdiri atas  empat macam, yaitu: (a) Nilai kebenaran (kenyataan), yaitu nilai yang  bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi, dan cipta); (b) Nilai  keindahan, yaitu nilai yang bersumber pada unsur perasaan manusia  (estetika); (c) Nilai moral (kebaikan), yaitu nilai yang bersumber pada  unsur, kehendak, atau kemauan (karsa dan etika); dan (d) Nilai religius,  yaitu nilai ketuhanan yang tertinggi, mutlak, dan abadi.Sedangkan norma  adalah ‘seperangkat aturan (tertulis dan
tidak tertulis), yang  mengatur pola kehidupan dan interaksi seseorang dalam rangka pemenuhan  beragam kebutuhan hidup’.
Fungsi nilai dan norma bagi  kehidupan bermasyarakat adalah: (1) menetapkan harga sosial seseorang  dalam  kelompok. Dengan nilai dapat menunjukkan seseorang berada pada  pelapisan sosial tertentu di masyarakat; (2) membentuk cara berpikir dan  berperilaku secara ideal dalam masyarakat; (3) nilai-norma dapat  menjadi faktor penentu yang terakhir bagi manusia dalam menjalankan  peranan sosial; (4) nilai-norma sebagai alat pengawas dan pengontrol  serta daya ikat tertentu agar seseorang berbuat baik bagi kehidupan; (5)  nilai-norma sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok untuk  mencapai tujuan bersama; dan (6) nilai-norma menjadi abstraksi  (gambaran) pola perilaku masyarakat (Rose, A. M.1965).
B. Syarat  Terjadinya Interaksi Sosial
Ada dua syarat utama terjadinya interaksi  sosial, yaitu: (1) adanya kontak sosial. Makna harfiah kontak sosial  adalah ‘bersama-sama menyentuh’. Secara fisik, kontak baru terjadi  apabila terjadi sentuhan badaniah. Berdasarkan subjek pelakunya kontak  sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu: (a)  kontak antara  orang perorangan;   (b)  kontak ntara orang perorangan dengan suatu  kelompok manusia atau sebaliknya; dan (c) kontak antara suatu kelompok  manusia dengan kelompok manusia lainnya; dan (2) adanya komunikasi  (communication), berasal dari bahasa Inggris ‘common’, artinya sama.  Apabila kita berkomunikasi, berarti kita berusaha untuk menimbulkan  sesuatu persamaan (commonnes) dalam hal pemahaman, penafsiran dan  sikap  dengan seseorang tentang sesuatu. Misalnya, kita bersama-sama  mempelajari suatu ide atau cita-cita dengan seseorang. Ini berarti,  bahwa kita mengemukakan sesuatu sikap (attitude) yang sama kepada  seseorang yang kita ajak berkomunikasi tadi (Pola. J.B.A.F.Major. 1991;  Soekanto S., 2002).
C. Faktor-Faktor Yang Mendasari Proses  Interaksi Sosial
Faktor penting  yang menjadi dasar proses  berlangsungnya interaksi sosial adalah: (1) nilai dan norma sosial yang  berlaku di masyarakat. Apabila individu atau kelompok dalam proses  interaksi sosialnya tidak mendasarkan pada nilai, norma yang berlaku,  kehidupan sosial akan terjadi disintegrasi atau  ketidakteraturan  sosial; dan (2) status dan peranan sosial. Proses interaksi sosial yang  dilakukan individu harus memperhatikan status dan peranan yang melekat  pada dirinya, juga memperhatikan kewajiban dan hak-haknya. 
Menurut  para ahli, berlangsungnya proses interaksi sosial dipengaruhi oleh  beberapa, antara lain: (1) faktor imitasi; (2) faktor sugesti; (3)  faktor simpati; (4) faktor identifikasi; (5) faktor empati;  dan (6)  faktor motivasi. Keenam faktor tersebut selama proses interaksi sosial  bisa terjadi secara sendiri (terpisah) dan juga bisa secara bersama-sama  atau integratif.
Pertama, simpati, yaitu suatu proses psikhis di  mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini  perasaan (aspek psikhis atau kejiwaaan) seseorang memegang peranan yang  penting. Dorongan utamanya adalah keinginan untuk memahami pihak lain  dan untuk bekerja sama atau mengikuti untuk melakukan suatu  tindakan  tertentu; Kedua, sugesti, yaitu dorongan untuk mengikuti atau menerima  sikap orang lain tanpa proses pemikiran yang dalam untuk melakukan  sesuatu tidakan.  Berlangsungnya sugesti dapat terjadi, karena pihak  yang menerima sedang mengalami ketidakstabilan pikiran yang dapat  menghambat daya berpikir rasional dan akal sehat. Sugesti ini bisa juga  sebagai kelanjuan lebih mendalam dari simpati.
Ketiga, imitasi, yaitu   dorongan untuk meniru pola aktifitas orang lain. Faktor ini  mempunyai  peran penting dalam proses interaksi sosial. Segi positifnya adalah  imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai yang  berlaku. Namun, imitasi dapat pula mengakibatkan hal yang negatif  misalnya, meniru tindakan yang menyimpang. Selain itu imitasi juga dapat  melemahkan atau mematikan pengembangan daya kreatifitas seseorang;  Keempat, identifikasi, yaitu merupakan kecenderungan atau keinginan  dalam diri seseorang untuk menjadikan sama (identik atau serupa) atau  meniru untuk berperan atau bersikap sama dengan pihak lain. Identifikasi  ini Iebih mendalam daripada imitasi, karena pola sikap seseorang dapat  terbentuk atas dasar proses ini.
Kelima, empati,yaitu mirip perasaan  simpati, akan tetapi tidak semata-mata perasaan kejiwaan saja, melainkan  diikuti dengan tindakan nyata secara positif. Empati dibarengi perasaan  organisme tubuh yang sangat dalam. Contohnya kalau kita melihat sahabat  dekat atau kerabat dekat mengalami kecelakaan, maka perasaan empati  menempatkan kita seolah-olah ikut celaka, dan kita langsung melakukan  tindakan nyata untuk menolongnya; Keenam, motivasi, yaitu dorongan,  rangsangan, pengaruh atau stimulus yang diberikan seorang individu  lainnya sedemikian rupa, sehingga orang yang diberi motivasi tersebut  menuruti atau melaksanakan apa yang dimotivasikan secara kritis,  rasional, dan penuh tanggung jawab  (Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969;  Soekanto, S, 2002).
D.Tahap –Tahap Keteraturan Sosial Dalam  Interaksi Sosial
Antara interaksi sosial dan keteratuan sosial  mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan yang erat tersebut dapat  dipahami dari asumsi sebagai berikut: (1) dalam interaksi sosial selalu  terdapat kontak dan komunikasi, tujuan kontak dan komunikasi adalah
untuk  mewujudkan keteraturan sosial (ketertiban hidup); (2) keteraturan  sosial (ketertiban hidup) akan terwujud apabila proses interaksi  berdasarkan pada nilai dan norma sosial yang berlaku; (3) nilai, norma  sosial adalah sebagai alat kontrol sosial (pengendalian sosial) terhadap  perilaku individu-kelompok untuk terujudnya keteraturan sosial. Jadi,  keteraturan sosial itu mempunyai hubungan yang selaras dan serasi antara  interaksi sosial, nilai sosial dan norma sosial.
Ditinjau dari segi  prosesnya, terbentuknya keteraturan sosial dapat melalui empat tahap,  yaitu: (1) tahap tertib sosial (social order), yaitu kondisi kehidupan  kelompok yang aman, dinamis teratur, yang ditandai dengan masing-masing  anggota kelompok menjalankan kewajiban dan memperoleh haknya dengan baik  sesuai dengan status dan peranannya; (2) tahap order, yaitu mengakui  dan mematuhi sistem nilai, norma yang berkembang dalam kelompok; (3)  tahap keajegan, yaitu suatu kondisi keteraturan perilaku yang tetap  (ajeg), terus menerus atau konsisten dalam kehidupan sehari-hari; dan  (4) tahap berpola, yaitu corak hubungan (interaksi) yang konsisten, ajeg  tersebut dijadikan sebagai model (dilembagakan) bagi semua anggota  untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari dalam kelompok. Ketika  proses interaksi sosial sudah memasuki tahap berpola, maka proses-proses  sosial di masyarakat akan tercipta keteraturan sosial (Rose, A. M.  1965; Wilson, E.K. 1966).
E. Proses Sosial Asosiattif dan  Disosiatif
Sosiolog Gillin and Gillin menyebutkan ada dua proses  sosial yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu: (1)  proses asosiatif atau bersekutu (processes of association); dan (2)  proses disosiatif atau memisahkan (processes of dissociation). Proses  asosiatif sering mengarah ke pola integrasi sosial, sedangkan proses  disosiatif cenderung mengarah ke disintegrasi atau sering disebut proses  oposisi (berjuang melawan pihak lain untuk mencapai tujuan) (Rose, A.  M. 1965; Green, A. W. 1972).
Pertama, proses asosiatif. Proses sosial  asosiatif mempunyai empat bentuk, yaitu: (1) kerjasama (cooperation),  yaitu jalinan hubungan timbal balik yang didasarkan atas kesamaan  tujuan, kepentingan, dan orientasi hidup. Berdasarkan pelaksanaannya,  interaksi sosial dalam bentuk kerjasama dibedakan menjadi lima macam,  yaitu: (a) kerukunan atau gotong royong; (b) bargaining, yaitu  perjanjian kerjasama tentang pertukaran barang dan jasa; (c) kooptasi,  yaitu kerjasama untuk saling menerima unsur-unsur baru dalam pelaksanaan  politik organisasi agar tidak terjadi konflik organisasi; (d) koalisi,  yaitu kerjasama antara dua atau lebih organisasi yang berbeda untuk  mencapai tujuan yang sama; (e) join-venture, yaitu kerjasama dalam  pengadaan proyek tertentu yang berbasis ekonomi; (2) akomodasi  (accomodation). Dalam proses sosial, akomodasi punya makna dua, yaitu:  (a) sebagai keadaan, yang berarti akomodasi adalah suatu keseimbangan  interaksi antar individu/ kelompok berdasarkan nilai dan norma kelompok;  (b) sebagi proses, yang berarti akomodasi bermakna usaha manusia untuk  meredakan dua pihak yang sedang konflik. Akomodasi sebagai proses,  mempunyai beberapa bentuk, yaitu: (a) koersi,  yaitu akomodasi yang  prosesnya melalui pemaksaan; (b) kompromi, yaitu akomodasi yang ditandai  oleh masing-masing pihak mengurangi tuntutannya agar ada penyelesaian;  (c) arbitrasi, yaitu akomodasi yang menggunakan pihak ketiga, dan pihak  ketiga ditentukan oleh badan yang berwenang; (d) mediasi, yaitu mirip  dengan arbitrasi, hanya pihak ketiganya netral; (e) konsiliasi, yaitu  akomodasi yang menggunakan cara mempertemukan keinginan yang bertikai  untuk dibuat kesepakatan; (f) toleransi, akomodasi yang didasarkan atas  sikap saling memaklumi; (g) stalemit, yaitu masing-masing pihak  mempunyai kekuatan yang seimbang; (h) ajudifikasi, yaitu akomodasi  melalui proses pengadilan, dsb. (3) akulturasi, yaitu proses  pembauran  dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan budaya baru, tetapi  tidak menghilangkan unsur aslinya; (4) asimilasi, yaitu proses   pembauran dua unsur budaya sehingga menghasilkan budaya baru, yang unsur  budaya aslinya mulai hilang.
Kedua,  proses disosiatif. Proses  sosial disosiatif mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1) persaingan  (competition), yaitu perjuang individu untuk mencapai  suatu tujuan  tertentu, tanpa merugikan pihak lain. Ada dua tipe persaingan, yaitu  persaingan individu dn persaingan kelompok; (2) kontravensi  (contravention), yaitu suatu bentuk proses sosial antara persaingan  dengan konflik. Cirinya adalah: (a) masing-masing mersa saling tidak  puas; (b) masing-masing pihak saling memendam perasaan kecewa, ragu dan  benci. Istilah sehari-hari tentang kontravensi adalah ‘perang dingin’;  (3) konflik, yaitu suatu perjuangan individu atau  kelompok untuk  mencapai tujuan dengan jalan menentang atau menyakiti atau
merugikan  pihak lain. Macam-macam konflik antara lain konflik, agama, ras, suku,  politik, ekonomi, antar kelas, konflik internasional dan sebagainya  (Sunarto, K. 2000; Soekanto, S., 2002).
.






0 komentar:
Posting Komentar